Oleh: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Ra Qs
(Wali Mursyid TQN PP Suryalaya Sirnarasa PPKN III)
Manusia sebanyak ini tidak lepas dari dua golongan, yaitu yang suka dan yang duka atau yang selamat dan sebagainya. Keterangan ini diambil dari kitab Sirr al-Asrar, karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddas Allahu sirrohu, yang merupakan hadis Nabi Muhammad saw:
الشقي والسعيد في بطن أمه
Artinya: “Orang yang duka dan yang suka itu ditentukan di dalam perut ibunya” (Sirr al-Asrar 38).
Yang dimaksud dengan perut ibunya adalah kumpulan unsur-unsur yang dari unsur tersebut lahirlah kekuatan manusia. Tanah dan air adalah lambang kebahagiaan karena keduanya dapat menghidupkan serta menumbuhkan ilmu, iman, dan tawadhu di dalam hati. Adapun api dan angin merupakan lambang penderitaan atau kesengsaraan, karena keduanya dapat membakar serta mematikan. Maha Suci الله yang memadukan unsur-unsur yang berlawanan dalam satu tubuh sebagaimana Ia memadukan antara air dan api, antara cahaya dan kegelapan pada awan, sebagaimana firman-Nya:
هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ
Artinya: “Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung” (Ar-Ra’d: 12-13).
Yahya bin Mu’adz ar-Razi pernah ditanya, bagaimana الله dapat diketahui. Kemudian ia menjawab dengan keterpaduan antara yang berlawanan. Oleh karena itu, manusia adalah nuskhokh (naskah/salinan induk) Al-Kitab, sebagai cermin الله yang memantulkan kegagahan dan keindahan-Nya serta kumpulan segala sesuatu. Disebut juga sebagai alam kubra (alam besar) sebab الله menciptakannya dengan tangan kekuasaan-Nya, yaitu jalaliyyah dan jamaliyyah-Nya. Sebab tidak boleh tidak, cermin itu memiliki dua muka, yaitu kekuasaan dan kelembutan-Nya. Karena manusia menjadi simbol bagi sesuatu nama yang menghimpun dua hal yang berlawanan, berbeda dengan makhluk lain yang diciptakan hanya dengan satu sifat.
Kalau hanya sifat lembut saja seperti malaikat, mereka adalah lambang bagi makhluk yang pekerjaannya hanya bertasbih dan mensucikan dirinya. Dan kalau hanya sifat kuasa saja, itu seperti iblis dan keturunannya yang merupakan simbol bagi makhluk yang sewenang-wenang, sehingga mereka merasa lebih gagah dan sombong sehingga tidak mau bersujud (hormat) kepada Adam alaihissalam.
Oleh karena itu, manusia mencakup yang khawas dan seluruh ka’inat (alam semesta), baik yang tinggi maupun yang rendah. Tidak luput dari kesalahan kecuali para Nabi dan wali karena mereka dilindungi dari dosa-dosa besar dan kecil. Adapun para wali, menurut satu pendapat, dijaga oleh الله dari dosa besar setelah sempurna kewaliannya.
Syafiq al-Balkhi berkata: “Tanda-tanda kebahagiaan itu ada lima: berhati lembut atau halus, banyak menangis di khalwat (menyendiri) bukan di hadapan orang banyak, zuhud dari dunia yang halal berlebihan dan dari dunia yang haram walaupun sedikit, penguasa hari ini, dan orang yang pemalu.” Sedangkan tanda-tanda penderitaan itu juga ada lima, yakni berhati keras karena hatinya lupa dari mengingat الله, kebal atau bandel, matanya membeku tidak pernah menangis karena selalu berada dalam gemerlap dunia, terlalu banyak keinginan (chotiawr), dan sedikit rasa malu.
Rasulullah saw. bersabda:
عَلَامَةُ السَّعِيدِ أَرْبَعَةٌ: إِذَا أُؤْتُمِنَ عَدَلَ وَإِذَا عَاهَدَ وَفَى وَإِذَا تَكَلَّمَ صَدَقَ وَإِذَا خَاصَمَ لَمْ يَسْتَمْ النَّاسَ
Artinya: “Tanda orang yang berbahagia itu ada empat: bila diberi amanah, dia bertindak adil; bila berjanji, ia menepatinya; bila berbicara, ia bicara benar; dan bila berselisih, ia tidak mencaci maki.”
وَعَلَامَةُ الشَّقِيِّ أَرْبَعَةٌ: إِذَا أُؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا عَاهَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا تَكَلَّمَ كَذَبَ وَإِذَا خَاصَمَ يَسْتُمُ النَّاسَ
Artinya: “Tanda orang yang menderita itu ada empat: bila diberi amanah, ia berkhianat; bila berjanji, ia mengingkarinya; bila berbicara, ia berdusta; dan bila berselisih, ia mencerca dan memaki-maki orang-orang serta tidak memaafkan mereka.”
Sebagaimana firman الله SWT:
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Artinya: “Siapa yang memaafkan kesalahan orang lain dan berbuat baik maka pahalanya terserah Allah” (Asy-Syura: 40).
Ketahuilah bahwa pergantian dari sengsara menuju bahagia atau pun sebaliknya bisa terjadi dengan pendidikan. Sebagaimana sabda Rasul saw:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ وَلَكِنْ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah Islam, tetapi kedua orang tuanya yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi bahagia atau menderita. Oleh karena itu, tidak boleh ada kata-kata seperti, “Orang ini bahagia terus atau orang ini menderita terus.” Tetapi yang boleh adalah berkata, “Orang bahagia terus bila kebaikannya lebih unggul daripada keburukannya, dan sebaliknya.”
Sebagaimana firman الله:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا
Artinya: “Siapa yang mengerjakan amal saleh maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan siapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri.” (Fushilat: 46).
Sebagai penutup, hendaknya kita berhati-hati dalam mencari nafkah. Karena empat unsur yang menjadi penyebab timbulnya kesegaran badan dan kekuatan tubuh kita, apabila tidak halal apalagi haram, maka efeknya adalah kesengsaraan, kedukaan, dan kerugian di dunia dan akhirat. Sebagaimana seorang ulama tasawuf berkata:
مَنْ أَكَلَ الْحَلَالَ صَفَا دِينُهُ
Artinya: “Barang siapa makan barang halal maka sucilah agamanya.”