Oleh: Dr. K.H. Subhan Asyierbonie
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul dari Cirebon)
Kita semua sedang dalam proses belajar untuk terus menyadarkan hati dan pikiran agar tetap istikamah, menjadi pribadi yang salih dan salihah, serta terus merawat zikir, amaliah, dan keyakinan kita terhadap ajaran tarekat ini. Malam ini, saya ingin mengajak kita semua merenungi salah satu bait dari kitab Fadhlus Syuhur karya Pangersa Abah yang sangat penting untuk dijadikan pegangan hidup.
Pangersa Abah mengingatkan kita melalui sebuah bait:
قال أبو عثمان، قال أبو حفصٍ جليسَ نفسك واعظًا لقلبك ولنفسك.
Artinya: “Apabila kamu duduk di hadapan manusia, jadilah kamu sebagai penasihat untuk hatimu, untuk dirimu.”
Seringkali ketika berada di tengah orang banyak, kita sibuk menasihati orang lain. Padahal, nasihat terbaik adalah yang kita tujukan untuk diri sendiri. Saat mendengarkan ayat suci Al-Qur’an, hakikatnya ayat itu ditujukan kepada kita. Saat kita berbicara tentang pentingnya zikir, sesungguhnya itu nasihat untuk diri kita.
Demikian pula dengan ajaran tanbih. Tanbih bukan untuk menyalahkan orang lain, bukan untuk berkata “Hei, sudah tanbih belum?”, tetapi sebagai peringatan bagi diri kita agar patuh kepada agama dan negara, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, serta bertoleransi dalam kehidupan. Demikian juga dengan tawasul dan manqabah, kisah-kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang kejujuran dan kebenaran—semuanya adalah nasihat untuk hati dan jiwa kita.
Pangersa Abah mengajarkan bahwa apa pun yang kita sampaikan hendaknya berasal dari apa yang telah kita amalkan. Jangan sampai kita membicarakan puasa Daud sementara kita tidak pernah melaksanakannya. Nasihat terbaik adalah yang telah kita jalani. Sebelum menasihati orang lain, jadilah penasihat bagi diri sendiri. Kita memiliki ukuran pribadi atas amaliah, zikir, qiyamulail, manaqib, khataman, dan kepatuhan kita sebagai murid. Itulah nasihat sejati.
Lanjutannya, Abah mengingatkan:
ولا يغرنّك القوم عليك فإنّهم يرقبون ظاهرك، والله يرقب باطنك.
Artinya: “Janganlah engkau terperdaya dengan berkumpulnya banyak orang di sekelilingmu, karena mereka hanya memperhatikan luarmu, sedangkan الله memperhatikan batinmu.”
Manusia hanya bisa melihat zahir kita—penampilan, ucapan, dan tindakan lahiriah. Mereka bisa saja memuji, mengagumi, bahkan mengagungkan kita. Tapi الله ﷻ Maha Mengetahui batin kita. Jangan sampai kita tertipu oleh pujian dan sanjungan, lalu melupakan bahwa الله melihat isi hati dan niat kita. Kita harus senantiasa menjaga batin.
Pangersa Abah juga berpesan bahwa orang yang berzikir, orang salik, hendaknya hatinya bersih dari bisikan negatif atau pikiran yang bersifat syaitani. Kesengsaraan hidup seringkali muncul bukan karena keadaan, tapi karena pikiran kita sendiri. Dalam Islam, pusat pikiran, perasaan, dan kehendak berada di dalam kalbu.
Kita harus mampu mengendalikan pikiran. Setiap saat, muncul ego dalam bentuk suara-suara batin: “Sudahlah, tidak usah ikut manaqib… nanti juga ada lagi,” atau “Ikut saja, tapi santai.” Lalu suara lain menyela, “Kamu murid Abah, kamu harus serius.” Inilah pertarungan di dalam jiwa. Jika kita tidak bisa berdamai dengan pikiran-pikiran ini, maka yang terjadi adalah kegelisahan. Jika pikiran baik menang, kita akan bertindak benar. Jika pikiran buruk menang, kita akan jatuh dalam kemalasan atau keburukan.
Pikiran manusia punya tiga kecenderungan utama yang perlu diwaspadai: menghapus (delete), mendistorsi (distortion), dan menggeneralisasi (generalization).
-
Delete: Pikiran kita bisa menghapus sebagian informasi dan hanya menerima bagian yang kita sukai. Ini berbahaya karena bisa menimbulkan kesalahpahaman atau kebencian.
-
Distortion: Pikiran bisa menafsirkan hal secara salah. Misalnya, ketika seseorang tidak menyapa, kita menganggap ia sombong, padahal bisa jadi ia tidak melihat atau tidak mendengar.
-
Generalization: Pikiran bisa menyamaratakan. Misalnya, hanya karena satu murid Abah berbuat buruk, kita menganggap semua murid buruk. Ini adalah ketidakadilan dalam pikiran.
Lalu, bagaimana cara mengendalikan pikiran?
Dengan zikir. Zikir adalah kunci utama untuk membawa gelombang otak ke kondisi alfa atau trans, yaitu kondisi tenang, damai, dan rileks. Dalam kondisi ini, pikiran mudah dikendalikan. Dengan mengulang zikir, mulai dari 50 kali, 100 kali, hingga 1.000 kali, secara perlahan gelombang otak kita akan bergerak ke kondisi tenang, sehingga kita dapat mengarahkan pikiran kepada yang positif dan lurus.
Abah pernah berkata:
“Jangan harap kamu bisa khusyuk dalam salat, jika di luar salat kamu tidak pernah melatih khusyuk.”
Khusyuk di sini artinya pikiran tenang, fokus, tidak liar ke mana-mana. Maka dari itu, Abah mengatur kesibukan lahir dan batin murid-muridnya melalui salat, zikir ba’da maghrib dan isya, serta amaliah manaqib yang rutin. Agar hati kita sibuk dengan الله, dan tidak sibuk menilai orang lain, membenci, atau bergosip. Kalbu yang dipenuhi zikir lailahaillallah dan zikir khafi akan menghalangi pikiran-pikiran negatif.
Mari jadikan diri kita penasihat terbaik bagi hati dan jiwa kita. Kendalikan pikiran dari bisikan negatif, dan penuhi kalbu dengan zikir kepada الله. Dengan begitu, kita akan menjadi pribadi yang lebih tenang, lebih tulus, dan lebih dekat kepada-Nya.
Semoga Allah memberikan kita kemampuan untuk terus mengendalikan pikiran kita dengan istikamah berzikir lailahaillallah dan menyebut nama-Nya (اسم الله).
Disarikan dari: https://youtu.be/NHXwstzOiJE?si=HONv_kZ0rEnMy58c