Rangkuman dari ceramah: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs
(Wali Mursyid TQN Suryalaya Sirnarasa PPKN III)
Sumber: https://youtu.be/GCnR7CUrpYk?si=INQ8nlTugtoZyq1Z
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَمْ يَكُنْ فِي يَدِهِ ثَلَاثُ سُنَنٍ فَقَدْ فَاتَهُ خَيْرٌ كَثِيْرٌ
“Barang siapa di tangannya tidak ada tiga sunnah ini, maka ia telah kehilangan banyak kebaikan.”
Tiga sunnah yang dimaksud adalah Sunnatullah, Sunnatu Rasul, dan Sunnah Para Wali. Di TQN Pondok Pesantren Suryalaya, kita semua telah menggenggam erat tiga sunnah ini. Alhamdulillah, kita telah memiliki genggaman yang kuat yang menjadi bekal perjalanan ruhani kita.
Dari sini kemudian muncul pertanyaan yang sering mengusik hati, yaitu siapakah sebenarnya mursyid kita. Seorang mursyid sejati adalah sosok yang berani berdiri di jalan الله, membimbing umat dengan penuh keberanian sekaligus kasih sayang. Berbeda halnya dengan para wali, meskipun mereka semua adalah wali الله, namun haram hukumnya bagi mereka mengaku sebagai mursyid. Karena itu, keberadaan wali tetap tersembunyi di balik kerendahan hati mereka. Sementara itu, ketika seseorang menerima talqin, maka seketika itu ia pun diangkat menjadi wali. Dan wali yang dimaksud bukanlah wali sembarangan, melainkan wali الله.
Kesadaran bahwa setiap orang yang telah menerima talqin adalah wali الله menuntut kita untuk senantiasa menjaga diri dan membersihkan hati. Salah satu sarana besar yang Allah berikan untuk membersihkan diri adalah ibadah puasa. Maka, tidak heran jika setelah memahami hakikat mursyid dan wali, kita diarahkan kepada makna puasa, sebab keduanya sama-sama menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada الله. الله ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Puasa itu bagaikan seekor ulat sutra yang ingin berganti baju. Ulat yang menjijikkan dan menakutkan membalut dirinya, berpuasa, hingga akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Inilah simbol yang diperkenalkan Abah Sepuh di Suryalaya: kupu-kupu. Ia menyenangkan orang yang melihatnya, tidak merugikan orang lain, dan memberi manfaat. Demikian pula kita, melalui talqin zikir, dari keadaan penuh kekurangan, bisa berubah menjadi makhluk yang bermanfaat.
Puasa juga layaknya seekor ayam yang mengerami telurnya. Ia menahan diri dari makan, minum, dan banyak bergerak, hanya untuk melahirkan kehidupan baru dengan sempurna. Begitu pula puasa kita, bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari perkataan yang menyakiti orang lain. Mulut kita hendaknya terkunci dari kata-kata buruk, dan hanya terbuka untuk mengucapkan kalimat suci لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ.
Dalam sebuah riwayat, Abu Dzar Al-Ghifari pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مُرْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ
قَالَ: “إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنَةً، فَإِنَّهَا تَمْحُوهَا”
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَإِنْ كَانَ “لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ” مِنَ الْحَسَنَاتِ؟
قَالَ: “هِيَ أَفْضَلُ الْحَسَنَاتِ”
“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka.” Beliau menjawab: “Jika engkau berbuat keburukan, ikutilah dengan kebaikan, karena keburukan itu akan terhapus.” Aku bertanya, “Apakah ucapan Lā ilāha illallāh termasuk kebaikan?” Beliau bersabda, “Itu adalah sebaik-baik kebaikan.”
Talqin yang diberikan Nabi ﷺ kepada para sahabat selalu disertai dengan seruan:
أَبْشِرُوا
“Bergembiralah kalian!”
Maka, setelah menerima talqin, kita wajib bergembira, sebab kegembiraan itu adalah perintah Nabi ﷺ sekaligus perintah الله. Jika seseorang tidak merasa bahagia setelah menerima talqin, berarti ia mengingkari anugerah الله. Talqin bukan sekadar janji di akhirat, tetapi ampunan yang telah dianugerahkan sejak di dunia.
Dalam menjalani kehidupan, kita tidak lepas dari cobaan. Ada suami yang pergi entah ke mana, sementara istrinya tetap sabar mendidik anak. Ada pula istri yang meninggalkan suami, lalu membawa anak-anaknya ke tempat ini dengan penuh keteguhan hati. Sabar adalah kunci. Nabi Nuh ‘alaihissalam pun diuji dengan anaknya, Kan‘an, yang durhaka. Itu semua menjadi pelajaran bahwa kesabaran adalah jalan keselamatan.
Dikir yang diajarkan melalui Talqin bertujuan memperpanjang usia dunia. Sebab, ketika zikir senantiasa hidup di hati manusia, dunia pun akan tetap mendapatkan rahmat الله. Setiap kali kita menerima talqin, saat itu juga kita dianugerahi lima kebaikan: Nuzulul Qur’an, Lailatul Qadar, Idul Fitri, dan dua kebaikan lain yang mencakup dunia serta akhirat. Idul Fitri bukan hanya pada tanggal 1 Syawal, tetapi bagi yang telah ditalqin, Talqin itulah Idul Fitri sejatinya.
Di dalam perjalanan ruhani, kita diingatkan bahwa bacaan yang indah hanya akan meninggikan derajat seseorang di hadapan manusia:
اَللِّسَانُ يُقِيْمُ جَاهَكَ عِنْدَ النَّاسِ
“Lisanmu meninggikan derajatmu di hadapan manusia.”
Namun yang lebih utama adalah hati yang baik:
وَالْقَلْبُ يُقِيْمُ جَاهَكَ عِنْدَ اللهِ
“Dan hatimu meninggikan derajatmu di hadapan الله.”
Maka, singkirkanlah penyakit hati seperti iri, dengki, dan dendam, serta belajarlah untuk sabar.
Akhirnya, perjalanan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang berkembang di Pondok Pesantren Suryalaya memiliki dasar dari firman الله:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Inilah yang disebut Tarekat Muhammadiyah, yaitu perjalanan menapaki jejak Nabi Muhammad ﷺ, dengan tuntunan sunnah-sunnah beliau, dan bimbingan para wali yang mewarisi cahaya kenabian.