oleh: K.H. Mahmud Jonsen Al Maghribi, M.Si.
(Wakil Talqin Pangersa ABAH AOS dari Tanggerang)
Mengucapkan Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, bukanlah perkara yang bid’ah sebagaimana dituduhkan, melainkan ucapan itu adalah do’a, tidak ada salahnya berdo’a.
Kata Idul Fitri, ada yang mengartikannya hanyalah sebatas bahasa :
Aada, ya’uudu, ‘id = Kembali
Afthoro, yufthiru, fitri = Berbuka
Berdasarkan pemahaman ini maka dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Idul Fitri itu artinya Kembali Berhari Raya, yaitu berbuka tidak lagi puasa. Pemahaman seperti ini tidaklah salah, akan tetapi sangat dangkal.
Adapun pemahaman yang kedua adalah Idul Fitri itu artinya Kembali Fitrah. Dan pemahaman seperti inilah yang banyak diyakini oleh umat Islam di Indonesia. Sebagaimana sabda Rosululloh Saw. “Kullu maulidin yuuladu ‘alal fithroti. Fa abaawahu yuhawwida nihi, yunash shiro nihi, au yumaj jisa nihi”. (Setiap bayi dilahirkan atas dasar fithrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashroni atau Majusi).
Fitrah juga disebut Islam sebagaimana الله Swt. Berfirman QS. Ar Ruum:30,
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Demikianlah dijelaskan bahwa manusia sesungguhnya fitrah (suci), sebelum ia dilahirkan ia telah Berjanji untuk patuh dan tunduk kepada الله sebagaimana Firman الله dalam QS. Al ‘A’raff:172,
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَاۛ اَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan“.
Namun ketika manusia terlahir ke dunia kemudian ia menekuni kehidupan dunia, maka ia lupa kepada janjinya kepada الله, ia ingkar (kufur) kepada الله. Ia terlena dengan kehidupan dunia, ia sibuk mengejar dunia, padahal sesungguhnya ia seperti mengejar bayang-bayang (makin dikejar ia lari) atau ibarat meminum air di laut (semakin diminum semakin haus), itulah kehidupan dunia.
Demikianlah, maka setelah ditempa melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh di bilan Romadhon, diharapkan ia akan kembali suci seperti bayi baru dilahirkan. Itulah makna Minal ‘Aidinal Faaizin. Sebagai mana Sabda Rosululloh Saw. Dari Salamah bin Abdurahman bin Auf, ayahku berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘الله SWT telah mewajibkan ibadah puasa Ramadhan, dan disunahkan untuk melakukan salat sunah, maka barang siapa mengerjakannya karena iman dan melakukan intropeksi, makan dia keluar dari dosa dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan”.
Minal Aidin artinya Kembali, kembali kemana? Tentu bukan kembali berhari raya sebagimana pendapat pertama tadi, akan tetapi yang dimaksud adalah Kembali mengingat Perjanjian kita kepada الله setelah kita tersesat, yaitu Bertobat kepada الله dengan melaksanakan janji kita untuk taat kepada الله,
“Innalladziina yubaayi’uunaka innamaa yubaayi’uunalloh yadullohi fauqo aidiihim. Faman nakatsa fainnama yan qusu’alaa nafsihii, waman aufaa bimaa aahada alaihulloh fasyau’ tiihi ajron ‘azhiima”.
(Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada الله. Tangan الله di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar).
Bagaiaman caranya agar kembali kepada الله?
Caranya adalah dengan bertobat, bertaqwa dengan bertauhid kepada الله.
الله Swt. Berfirman dalam QS. Ar Ruum:31, “
مُنِيْبِيْنَ اِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ
“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta laksanakan sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan الله“
Bapak-bapak hadirin yang berbahagia, tobat itu butuh usaha gak? Tentu saja butuh! Kalau begitu bisa gak orang bertobat sendiri, tanpa belajar?
Ketika orang bertobat tentu ia akan Belajar kembali kepada tuntunan Alloh. Belajar itulah yang disebut Datang kepada orang yang Telah Kembali. الله Swt. Berfirman dalam QS. An Nisa:64, “
Wamaa arsalnaa min rosuulin illaa liyu thoo’a bi idznillaah. Walau annahum idz zholamuu anfusahum jaa- uka fastaghfarulloha was taghfaro lahumur rosuulu lawa jadulloha tawaabar rohiima”.
(Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin الله. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada الله, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati الله Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang).
Maka dari itu datangi pengajian, belajar, cari guru yang akan membimbing kita.
“Wattabi’ sabiila man anaaba ilayya”
Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-ku). (QS. Luqman:15).
Orang yang telah kembali yang harus kita ikuti, itulah Mursyid. Sehingga Orang yang mengikuti Mursyid itulah disebut orang yang bertobat dan mendapat petunjuk الله.
مَن يَهْدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
“Barangsiapa yang mendapatkan petunjuk maka ialah yang mendapat petunjuk. Barangsiapa yang disesatkan oleh الله maka ia tidak akan mendapatkan orang yang memapu memberi petunjuk kepadanya”. (QS. Al Kahfi:17.)
Kemudian Wal Faaizin, artinya Menang.
Di dalam Surat Al Hasyr:18-20,
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلۡتَـنۡظُرۡ نَـفۡسٌ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٍ ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ١٨
وَلَا تَكُوۡنُوۡا كَالَّذِيۡنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنۡسٰٮهُمۡ اَنۡفُسَهُمۡؕ اُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ١٩
لَا يَسۡتَوِىۡۤ اَصۡحٰبُ النَّارِ وَاَصۡحٰبُ الۡجَـنَّةِؕ اَصۡحٰبُ الۡجَـنَّةِ هُمُ الۡفَآٮِٕزُوۡنَ ٢٠
“Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada الله. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok. Bertaqwalah kepada الله. Sesungguhnya الله Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kalian seperti orang yang lupa kepada الله, lalu الله membuat mereka lupa pada dirinya, mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga, penghuni surga itulah orang yang menang (beruntung.)”
Jalan taqwa itulah jalan Mursyid, mengapa? Karena Mursyidlah yang menunjukan letak taqwa itu dimana? “At Taqwa haahuna” (Taqwa itu di sini/qolbu). “Alaa inna fil jasaadi mudhghoh, idzaa sholuhat, sholuhal jasadu kulluhu, wa idzaa fasadat, fasadal jasadu kulluhu, ‘alaa wahiyal qolbu”.
Hatinya baik maka baiklah seluruh jasadnya. Sehingga orang yang Baik itulah orang yang Taqwa. Orang yang taqwa ialah orang yang selalu Mengingat الله, baik secara Jahar (Nyata) maupun Khofi (sembunyi) الله mengetahuinya. Dengan dzikirnya itulah ia senantiasa Muhasabah (introspeksi) sehingga ia selalu merasa bersama (dilihat) الله (Muroqobah). Sebaliknya orang yang Lupa kepada Alloh itulah orang yang Fasik.
Nah itulah mengapa pengersa Abah Aos mengatakan, Idul Fitri itu adalah Talqin Dzikir, yaitu untuk mengingat kembali kepada الله. Tidak akan Idul Fitri kalau tidak ditalqin. Sama halnya tidak ketemu lay latul qodar kalau tidak ditalqin dzikir.
Man qoola Laa Ilaaha Illaloh dakholal jannah (Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk surga). Orang yang masuk surga itulah orang yang Faaiz (menang)
Manaqib Madrosah + Roudhoh TQN Suryalaya Sirnarasa Panongan, 23 Juli 2017.