Oleh: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs
(Wali Mursyid TQN Suryalaya Sirnarasa PPKN III)
Salah satu jenis ibadah dan Semua agama memerintahkanya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal meskipun cara pelaksanaannya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilakukan oleh bangsa Mesir kuno, bangsa Yunani juga Romawi.
Perintah puasa merupakan ajaran yang hampir dikenal di semua agama, baik pada agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang tabi’i (kultur) seperti Hindu dan Budha. Meski secara tata laksana hampir sama, tetapi ada hal mendasar yang membedakan puasa dalam masing-masing agama. Hal itu terletak pada motivasi pelaksanaannya (niatnya).
Motivasi orang yang melaksanakan puasa bisa sangat beragam. Ada yang disebabkan karena kesulitan hidup, ditimpa musibah, untuk suatu tujuan dan hajat tertentu, bahkan ada pula untuk mendapatkan ilmu bagi kalangan kebatinan tertentu.
Namun bagi umat Islam, niat puasa tidaklah seperti contoh di atas atau untuk sekadar menahan diri dari makan, minum, atau bersetubuh di waktu yang telah ditetapkan (dari terbit fajar hingga terbenam matahari). Puasa lebih merupakan konsekuensi dari pribadi yang ingin menggapai takwa. Sebagaimana firman الله:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَا مُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)
Gelar muttaqin merupakan predikat tertinggi yang hanya diberikan oleh الله kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Karena terpilih, maka tidak semua orang dapat memperolehnya melainkan setelah melewati proses tertentu, di antaranya dengan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kewajiban shiyam Ramadhan ini dilaksanakan secara reguler pada setiap tahunnya. Adapun maksudnya ialah sebagai media pensucian jiwa dan kualitas hidup demi menggapai kehidupan yang diridhoi الله SWT.