#RefleksiSufi
oleh: Al Khoolishul Aamiin
DZIKIR adalah panggilan jiwa menuju kehadiran ٱللَّٰه ‘azza wajalla. Ia bukan sekadar rangkaian kalimah agung, melainkan denyut cinta yang menghubungkan hati seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam dzikir, hati yang resah menemukan ketentraman, dan pikiran yang kalut mendapatkan ketenangan. Dengan menyebut dan mengingatNya, seorang hamba seperti anak yang kembali ke pelukan kasih ibu; rasa takut dan gelisah seketika sirna.
الله jalla jalaaluh telah menjelaskan rahasia ketenangan ini dalam firman-Nya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat الله. Ingatlah, hanya dengan mengingat الله hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Seorang ahli dzikir tahu bahwa dunia ini penuh dengan kesulitan, dan hati manusia rentan terhadap kerisauan. Namun, dzikir mendidik mereka agar hanya bersandar pada kekuatan الله, Sang Maha Kuasa atas segala urusan. Ketika hati diisi dengan dzikir, ia menjadikan hatinya seluas samudera: gelombang datang dan pergi, tetapi dasarnya tetap tenang.
Ketika hati penuh dengan dzikir, ia hidup; tetapi ketika lalai dari dzikir, ia seperti mati—gundah, gelisah, dan tak mampu menemukan jalan keluar dari masalahnya. Dzikir juga meluruskan pikiran yang kalut. Ketika hati disucikan dengan dzikir, pikiran menjadi lebih jernih, sebab dzikir memadamkan api hawa nafsu dan kecemasan duniawi. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul Ghaib (halaman 73) menulis:
“Dzikir kepada الله adalah rantai yang mengikat pikiran agar tidak liar. Ia menenangkan gelombang kecemasan dan membawa akal kepada ketundukan.”
Sebaliknya, kurang berdzikir adalah undangan bagi kegelisahan. Hati yang kosong dari dzikir mudah disusupi was-was, iri, dan ketakutan. Pikiran yang jauh dari dzikir kehilangan arah dan sering kali terjebak dalam kebimbangan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (Juz 4, halaman 392) menyebutkan: “Hati yang tidak berdzikir bagaikan sumur yang mengering: ia kehilangan sumber air yang menyejukkan dan menyegarkan.” Dalam Madarij As-Salikin (Juz 1, hlm. 500), Imam Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah juga berkata:
“Kelalaian dari dzikir adalah sumber semua kegelisahan. Sebab hati yang jauh dari Alloh tidak akan pernah menemukan kedamaian.”
Dzikir adalah kebutuhan pokok hati sebagaimana makanan adalah kebutuhan pokok tubuh. Syaikh Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam menuturkan: “Jangan berharap hati yang gelisah menjadi tenang jika engkau melupakan dzikir. Sebab dzikir adalah akar dari ketentraman.” Syaikh Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah (halaman. 72) menulis: “Seorang yang berdzikir dengan tulus kepada الله menemukan ketenangan yang tidak mampu diberikan oleh dunia. Bahkan dalam ujian terberat, ia tetap damai, sebab ia tahu bahwa الله selalu bersamanya.”
Dzikir adalah jembatan menuju ketentraman hati dan ketenangan pikiran. Semakin istiqomah seorang hamba dalam berdzikir, semakin ia merasakan kedamaian yang tidak tergoyahkan oleh hiruk-pikuk dunia. Namun, jika dzikir dilupakan, hati menjadi gelisah, pikiran kacau, dan hidup terasa berantakan. Dzikir bukan hanya ibadah, tetapi kebutuhan jiwa yang menuntun manusia kepada kebahagiaan sejati.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا ذَاكِرَةً لَكَ، وَاجْعَلْ عُقُولَنَا سَاكِنَةً بِذِكْرِكَ، وَاجْعَلْ حَيَاتَنَا دَائِمَةً فِي دَائِرَةِ سَلَامِكَ وَرَحْمَتِكَ.
Ya Alloh, jadikanlah hati kami senantiasa mengingat-Mu, pikiran kami tenang dengan dzikir-Mu, dan kehidupan kami penuh dalam naungan kedamaian dan rahmat-Mu.
Ilaa hadlrotussyeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul, al faatihah. Aamiin.
Khoodimul khoosh Hadltorus Syeikh Muhammad Abdul Gaos SM Ra Qs.