Tujuan Hidup Manusia

admin111
admin111
5 Min Read

oleh: Dr. K.H. Irfan Zidny Al Hasib, M.Si.
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs dari Jakarta)

Tujuan utama penciptaan jin dan manusia, sebagaimana firman الله SWT dalam Al-Qur’an adalah untuk beribadah kepada-Nya. الله berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

- Advertisement -

Segala aktivitas manusia pada hakikatnya hanyalah sarana menuju pengabdian kepada الله. Apabila apa yang kita lakukan tidak dilandasi niat ibadah, berarti kita telah keluar dari jalur kehidupan yang telah الله tetapkan. Namun, karena kasih sayang-Nya, الله memberikan cara untuk mengembalikan hamba-Nya yang tersesat. Pertama, melalui tafakur, yaitu saat Allah mengilhami hamba-Nya untuk berpikir dan merenung tentang tujuan hidup. Renungan ini menumbuhkan kesadaran baru yang mengantarkan kembali pada jalan kebenaran.

Jika perenungan belum cukup, الله bisa menegur dengan cara yang lebih kuat melalui خوف مجزع (khaufun mujzi‘un), yakni ketakutan yang mencekam. Misalnya, seseorang dihadapkan pada situasi berbahaya, hampir mati, atau krisis berat dalam hidupnya. Peristiwa ini dapat membuka mata hati, menumbuhkan kesadaran ketuhanan, dan mendorongnya lebih taat beribadah. Selain itu, ada pula شوق مقلق (syauqun muqliqun), kerinduan yang menggelora kepada الله. Hal ini bisa muncul setelah bertemu ulama, menghadiri majelis taklim, atau mendapatkan sentuhan spiritual lain yang membuat hati menjadi futuh (terbuka) dan terdorong kembali pada ibadah.

Namun, apabila الله tidak menyayangi seorang hamba, Dia bisa membiarkannya dalam keadaan إستدراج (istidraj), yaitu merasa diberi segala kenikmatan dunia padahal semakin jauh dari ibadah. Inilah ujian paling berat, karena seseorang merasa hidupnya baik-baik saja padahal hatinya makin kosong dari الله.

Dalam menjalani pengabdian ini, para ulama menjelaskan bahwa ibadah terbagi menjadi dua bentuk. Ada عبادة محضة (ibadah mahdhah), yaitu ibadah formal yang ketentuannya sudah ditetapkan langsung oleh الله, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Ada pula عبادة غير محضة (ibadah ghairu mahdhah), yakni segala aktivitas sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, dan membantu orang lain yang bisa bernilai ibadah apabila diniatkan untuk الله dan dilakukan sesuai syariat.

Agar sebuah amal benar-benar bernilai ibadah, ada dua syarat yang harus terpenuhi. Pertama, الإخلاص لله (ikhlas karena الله), yakni orientasi niat hanya untuk-Nya. Kedua, المتابعة لشرع الله (mengikuti aturan الله), yaitu tidak melanggar syariat meskipun tujuannya baik. Misalnya, mencuri untuk membangun masjid tetap tidak bisa dianggap ibadah, sebab bertentangan dengan hukum الله.

الله pun telah menenangkan hati manusia dengan jaminan rezeki. الله tahu bahwa manusia memiliki kebutuhan jasmani (بشرية) yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, rezeki setiap hamba sudah ditetapkan, agar manusia dapat fokus beribadah tanpa tenggelam dalam kegelisahan duniawi. الله berfirman:

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ، إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya الله, Dialah Maha Pemberi rezeki, Yang mempunyai Kekuatan lagi Maha Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 57–58).

Ayat-ayat tentang rezeki begitu banyak disebutkan, karena manusia seringkali cemas dan kurang yakin terhadap jaminan الله. Oleh sebab itu, ada beberapa prinsip yang perlu dipegang agar hati tetap tenang. Pertama, mentauhidkan الله dalam urusan rezeki, meyakini hanya الله yang memberi, sedangkan makhluk hanyalah perantara. Kedua, tidak bersandar kepada makhluk, karena janji manusia tidak sebanding dengan janji الله. Ketiga, tidak bersandar mutlak kepada sebab-sebab duniawi, sebab rezeki bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka.

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengajarkan hal ini, seperti bagaimana burung Abrahah menghancurkan pasukan gajah dengan kerikil, Siti Maryam yang mendapat buah kurma dengan hanya menggoyangkan pohon, atau Nabi Musa yang bertahan hidup dengan memakan dedaunan. Semua ini menunjukkan bahwa kekuatan الله jauh melampaui logika sebab-akibat.

Maka, ketika seorang hamba benar-benar bersandar hanya kepada-Nya, الله akan mencukupi kebutuhannya dari jalan yang tidak pernah ia perhitungkan.

وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِٱلصَّوَابِ.

Disarikan dari: https://youtu.be/3l5I2IiR5NE?si=sRogSwnmyV8EVl4T

Share This Article
Leave a comment