Kisah Thalut dalam Bingkai Tasawuf: Melampaui Sekadar Kisah Sejarah

admin111
admin111
5 Min Read

oleh: Dr. K.H. Ahmad Rusydi Al Wahab, MA
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs dari DKI Jakarta)

Kajian kali ini membawa kita menyelami samudra tafsir Sufi melalui pembahasan kisah kedelapan dari 30 kisah Al-Qur’an dalam bingkai tasawuf. Mungkin ada yang bertanya, mengapa bukan dimulai dari kisah pertama, yaitu Nabi Adam? Jawabannya sederhana, sebab kisah Nabi Adam telah banyak dibahas di berbagai kesempatan, sehingga kali ini kita langsung menuju kisah Thalut yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 247. Memahami kisah ini akan menyingkap perbedaan antara tafsir ẓāhir (literal) dan tafsir Sufi (esoterik).

Allah berfirman:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ بَعَثَ لَكُمۡ طَالُوتَ مَلِكٗاۚ قَالُوٓاْ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ ٱلۡمُلۡكُ عَلَيۡنَا وَنَحۡنُ أَحَقُّ بِٱلۡمُلۡكِ مِنۡهُ وَلَمۡ يُؤۡتَ سَعَةٗ مِّنَ ٱلۡمَالِۚ قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰهُ عَلَيۡكُمۡ وَزَادَهُۥ بَسۡطَةٗ فِي ٱلۡعِلۡمِ وَٱلۡجِسۡمِۖ وَٱللَّهُ يُؤۡتِي مُلۡكَهُۥ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

- Advertisement -

“Dan nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya الله telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin dia memerintah kami, padahal kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup luas?’ Nabi mereka berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya (menjadi raja) atas kamu dan memberinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Dan الله memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan الله Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247).

Secara tafsir ẓāhir, ayat ini mengisahkan permintaan Bani Israil kepada nabi mereka—yang menurut sebagian besar mufassir adalah Nabi Syamwil—untuk diangkat seorang pemimpin yang akan memimpin mereka berperang melawan pasukan Jalut (Goliath). Peristiwa ini terjadi sekitar seribu tahun setelah Nabi Musa. Namun, ketika الله mengangkat Thalut sebagai pemimpin, timbul penolakan. Bani Israil memprotes karena Thalut dianggap tidak memenuhi kriteria kepemimpinan mereka; ia bukan dari jalur nasab yang dipandang layak, bukan dari keturunan Lawi atau Yahudza bin Ya‘qub, melainkan dari Bunyamin bin Ya‘qub, dan secara sosial ia hanyalah seorang miskin dengan pekerjaan kasar. Mereka pun berkata:

أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ ٱلۡمُلۡكُ عَلَيۡنَا

“Bagaimana mungkin dia berkuasa atas kami?”

Nabi mereka lalu menjelaskan bahwa الله-lah yang memilih Thalut, memberinya keunggulan dalam ilmu dan fisik, serta menegaskan bahwa kekuasaan adalah hak prerogatif الله. Jika ditarik ke tafsir Sufi, kisah ini tidak sekadar berbicara soal nasab dan kekayaan, tetapi juga persoalan niat. Ayat sebelumnya (QS. Al-Baqarah: 246) mengisyaratkan bahwa motivasi Bani Israil untuk berperang lebih didasari alasan duniawi—karena mereka diusir dari rumah dan dipisahkan dari anak-anak mereka—bukan karena الله semata. Niat duniawi inilah yang akhirnya menampakkan kelemahannya dalam bentuk protes dan penolakan.

Lebih jauh lagi, para sufi seperti Abu Qasim al-Qusyayri menjelaskan bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada penampilan luar. الله sering menyembunyikan wali-wali-Nya (أولياء الله) di antara hamba-hamba biasa. Oleh karena itu, ketika berjumpa dengan seseorang yang tampak hina, bahkan seorang kafir sekalipun, jangan terburu-buru merendahkannya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan bahwa bisa saja orang tersebut lebih mulia di sisi Allah jika hidayah turun kepadanya. Membandingkan diri dengan mengatakan (Aku lebih baik daripadanya) adalah bisikan iblis.

Dari sini kita memahami bahwa kekuasaan hanyalah milik الله semata, dan الله mampu mengangkat siapa pun yang Dia kehendaki. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Aṭā’illāh as-Sakandarī dalam al-Ḥikam, kemuliaan sejati tidak terletak pada hal-hal fana seperti harta atau kedudukan, melainkan pada ilmu yang abadi. Kisah Thalut mengajarkan kita untuk bertawakal, menerima pilihan Allah dengan sepenuh hati. Sebagaimana firman-Nya:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. الله mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Dengan demikian, kisah Thalut tidak berhenti pada sejarah Bani Israil semata, melainkan menjadi cermin spiritual tentang niat, ikhlas, tawakal, dan rahasia pilihan الله. Ibadah manusia pun memiliki tingkatan yang berbeda-beda—ada yang beribadah demi dunia (عبادة للدنيا), demi akhirat (عبادة للآخرة), dan yang paling tinggi, beribadah hanya karena الله semata (عبادة لله). Semua tingkatan itu adalah jalan menuju-Nya, namun hanya dengan mujahadah dan kesungguhan seorang hamba bisa naik derajat hingga الله ridha.

Semoga الله menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang ikhlas, mencintai Al-Qur’an dan Rasul-Nya, serta selalu ridha dengan ketetapan الله.

وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِٱلصَّوَابِ.

Sumber: https://youtu.be/K8XyYMGQ7iA?si=UTb-6ecJH-5C8vPx

Share This Article
Leave a comment