oleh: Dr. K.H. Dadang Muliawan, M.Sos.
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul dan Rektor USAMA Sirnarasa)
Siapa pun yang menempuh jalan spiritual (الفَقير في الله), yang berjalan di atas jalan lurus (الخادم العلم), tidak boleh merasa jumawa atau berhenti mencari. Inilah inti dari perjalanan ruhani: sebuah pengingat bahwa ketidakmampuan sejati bukanlah kekurangan harta, melainkan ketika seorang berilmu merasa cukup dengan ilmunya. Merasa cukup (قَناعَة) adalah sikap terpuji dalam perkara dunia, tetapi dalam arena ilmu dan kerohanian, ia justru bisa menjadi penghalang terbesar.
Karena itu, seorang ‘ālim (orang berilmu), bahkan ulama besar sekalipun, tidak semestinya merasa cukup dengan pengetahuannya. Ia wajib terus merasa membutuhkan ilmu dari orang lain dan berpegang pada ahlinya (مِنْ أَهْلِهِ) agar tetap berada di jalan lurus (ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ). Prinsip ini ditegaskan الله melalui kisah Nabi Musa عليه السلام bersama Nabi Khidir عليه السلام dalam Al-Qur’an:
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. الكهف: 66)
Melalui kisah ini, kita melihat bahwa bahkan seorang Nabi ulul ‘azmi pun diperintahkan untuk mencari guru dan tidak merasa cukup dengan ilmunya. Transisi inilah yang menunjukkan bahwa kerendahan hati dalam menuntut ilmu adalah kunci agar ilmu membawa keberkahan, bukan kesombongan.
Selanjutnya, Khidir menjawab dengan tegas bahwa ilmu ini membutuhkan kesabaran (صَبْر) dan kerendahan hati penuh. Nabi Musa pun berjanji untuk tidak berhenti berjalan hingga sampai pada tempat pertemuan dua lautan (مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ), demi bertemu dengan gurunya.
قَالَ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرٗا وَلَآ أَعْصِي لَكَ أَمْرٗا
Musa berkata: “Insya الله engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang perintahmu sedikit pun.” (QS. الكهف: 69)
Dari sini kita bisa memahami bahwa menuntut ilmu selalu menuntut adab, kesabaran, dan kerendahan hati. Transisi ini menegaskan bahwa jangan meremehkan orang yang dianggap biasa, sebab bisa jadi ia memiliki ilmu dan kedudukan spiritual lebih tinggi di sisi الله.
Pada akhirnya, hakikat mencari ilmu adalah perjalanan menuju penyucian jiwa (تَزْكِيَةُ النَّفْسِ). Dari perjalanan ini lahirlah dua keadaan hati: النُّورَانِي (cahaya kebenaran) yang menuntun, dan قَناعَة (ketenangan hati) yang tidak bergantung pada dunia.
Semua itu bermuara pada satu tujuan, yaitu استقامة (istiqāmah)—keteguhan hati di jalan الله.
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami ialah الله,” kemudian mereka istiqāmah, maka malaikat turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS. فصلت: 30)
Maka, istiqāmah memang berat, tetapi ia adalah buah dari ilmu, amal, dan kesungguhan untuk menerima dari ahlinya serta mengamalkannya. Transisi terakhir ini menutup dengan penegasan bahwa istiqāmah adalah puncak perjalanan ilmu yang pada akhirnya akan mengundang ridha الله سبحانه وتعالى.
Disarikan dari: https://youtu.be/Hf4jc4XOKa8?si=1BHsJYF-n3SvgVpG