oleh: K.H. Budi Rahman Hakim Al Amiin, MSW., Ph.D.
(Wakil Talqin dan pembantu khusus Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs)
Mengapa masalah hidup terasa berat? Seringkali, bukan masalah itu sendiri yang memberatkan, melainkan durasi dan kedalaman kita memikirkannya. Rahasia hidup ringan adalah membiarkan masalah hanya “mampir” sejenak, tanpa menjadikannya penghuni tetap dalam pikiran kita.
Masalah hidup—apapun bentuknya—akan terasa ringan ketika hanya singgah sebentar di pikiran. Namun, ia mulai berubah menjadi beban berat, tekanan batin, bahkan sumber stres dan depresi ketika kita terus memikirkannya tanpa jeda. Ibarat rasa nyeri yang seharusnya cepat reda, tapi justru makin terasa karena terus digaruk dan diperhatikan. Pikiran yang berputar di satu masalah bagaikan lingkaran tak berujung yang hanya memperkeruh batin.
Semakin lama kita menenggelamkan diri dalam pikiran negatif, semakin besar pula beban yang terasa. Maka, perlu ada titik balik: bagaimana agar setiap masalah tidak serta-merta menjadi beban pikiran yang mengendap? Di sinilah peran dzikrullah hadir sebagai penawar.
Dzikir adalah bentuk kesadaran batin untuk mengingat الله di atas segala beban duniawi. Ketika masalah datang, bukan pikiran yang harus menanggungnya, tapi hati yang menyerahkannya kepada الله. Dengan demikian, kita mengubah arah dari “memikirkan” menjadi “menzikirkan.”
الله Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat الله. Ingatlah, hanya dengan mengingat الله-lah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketenangan sejati tidak datang dari mencari solusi yang sempurna, tetapi dari menyerahkan segala urusan kepada الله. Pikiran bisa lelah, tetapi hati yang berdzikir akan selalu menemukan tempat bersandar.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sabdanya:
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dan orang yang tidak berzikir kepada-Nya seperti orang hidup dan orang mati.” (HR. Bukhari no. 6407)
Hadits ini memperlihatkan bahwa Dzikir bukan hanya amalan lisan, melainkan energi kehidupan batin. Ia menghidupkan hati yang tadinya mati oleh pikiran-pikiran duniawi yang menekan.
Dengan berzikir, seseorang secara otomatis mengalihkan pusat perhatiannya. Ia berhenti menjadi manusia yang merasa harus mengatur segalanya, dan mulai menjadi hamba yang yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Yang Maha Mengurus. الله berfirman:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada الله, maka cukuplah الله baginya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
Artinya, tugas kita bukan memikul beban masalah, tetapi menyatukan diri dengan kehendak-Nya agar Dia-lah yang mengambil alih dan mengurus setiap urusan hidup kita.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
الذِّكْرُ يُورِثُ فِي الْقَلْبِ صَفَاءً وَنُورًا، وَيُذْهِبُ الْوَسْوَاسَ وَالْهَمَّ وَالْغَمَّ
“Dikir menumbuhkan kejernihan dan cahaya dalam hati, menghapus bisikan jahat, kesedihan, dan kegelisahan.” (Madarij as-Salikin, 2/424)
Dzikir bukan sekadar lafaz, melainkan terapi ruhani yang mengembalikan keseimbangan batin. Ia mengajarkan kita untuk berhenti mengeluh, berhenti memaksa, dan mulai berserah. Maka, saat beban hidup terasa berat, jangan buru-buru memikirkannya. Cobalah menzikirinya—karena hanya dengan mengingat الله, hati menemukan ringan yang sejati.