Oleh : K.H. Luqman Kamil Ash Shiddiq, S.Pd.I.
(Wakil Talqin Pangersa ABAH AOS dari Cimahi)
ليس العيد لمن لبس الجديد انما العيد لمن طاعته يزيد
laisal ‘id liman labisal jadid, innamal ‘id liman thoo’athu yazid.
Artinya: “Bukanlah ‘id itu bagi orang yang memakai pakaian baru sesungguhnya ‘id (hari raya) itu adalah bagi orang yang ketaatannya selalu bertambah.”
ليس العيد لمن تجمل باللباس و الركوب انما العيد لمن غفرت له الذنوب
laisal ‘id liman tajmalu bil libasi war rukub, innamal ‘id liman ghufiro lahud dzunub.
Artinya: “Bukanlah id itu bagi orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan yang bagus. Sesungguhnya id (hari raya) itu adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.”
Hari raya bukan hanya tentang pakaian baru atau kendaraan mewah, tetapi tentang peningkatan kualitas ibadah dan ketaatan kepada Allah. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, الله SWT berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ ﴿١٤﴾ وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ ﴿١٥﴾
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan keimanan), dan mengingat nama Tuhannya lalu shalat.” (QS. Al-A’la: 14-15)
Idulfitri bukan sekadar perayaan dengan pakaian baru dan makanan lezat, tetapi momentum penyucian diri sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-A’la: 14-15, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan keimanan), dan mengingat nama Tuhannya lalu shalat.” Menurut Imam Ibnu Katsir, makna penyucian diri dalam ayat ini mencakup meninggalkan maksiat serta membersihkan hati dari dosa-dosa. Dalam konteks Idulfitri, hal ini diwujudkan dengan kembalinya seorang Muslim kepada fitrah setelah sebulan berpuasa, disertai dengan kewajiban zakat fitrah sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Baghawi. Zakat fitrah menjadi simbol kesucian harta dan penyempurna ibadah puasa, sehingga seseorang tidak hanya bersih secara spiritual tetapi juga peduli terhadap sesama.
Selain penyucian diri, ayat ini juga menekankan pentingnya mengingat الله melalui shalat dan dzikir. Dalam Idul fitri, ini diwujudkan dengan gema takbir yang dikumandangkan sejak malam takbiran sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Ramadhan. Selain itu, shalat Idul fitri menjadi salah satu syiar penting yang menunjukkan kebersamaan umat dalam merayakan kemenangan spiritual. Oleh karena itu, hakikat Idulfitri bukan hanya tentang kegembiraan lahiriah, tetapi lebih kepada peningkatan ketakwaan, kesadaran akan hubungan dengan Allah, dan kepedulian terhadap sesama melalui zakat dan ibadah.
Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa puasa Ramadhan yang dilakukan dengan penuh keimanan dan keikhlasan akan menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Para ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rajab Al-Hanbali menjelaskan bahwa hakikat Idul Fitri bukan sekadar merayakan selesainya ibadah puasa, tetapi momentum kembali kepada kesucian jiwa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa Idul Fitri adalah tanda kesempurnaan ibadah Ramadhan, di mana seseorang yang benar-benar memanfaatkan bulan suci ini akan merasakan kebahagiaan sejati, bukan dari pakaian baru atau hidangan lezat, tetapi dari hati yang bersih dan ketakwaan yang meningkat.
Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk mengisi Idul Fitri dengan takbir, shalat, sedekah, serta menjaga amalan baik yang telah dibangun selama Ramadhan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, pengampunan dosa adalah salah satu anugerah terbesar bagi orang yang telah menjalankan puasa dengan penuh keimanan. Maka, Idul Fitri seharusnya menjadi titik awal untuk terus memperbaiki diri dan istiqamah dalam kebaikan. Semoga الله menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita bagian dari mereka yang benar-benar kembali dalam keadaan fitrah.
Semoga الله SWT menganugerahkan berkah sisa usia dengan sehatnya , soleh solehah , sukses , kaya raya , ISTIQOMAH dengan dan bersama LAA ILAAHA ILLALLOH.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.