#RefleksiSufi
Oleh: Al Khoolishul Aamin
DZIKIR itu lentera hati yang merindukan cahaya, pemantik nurani yang haus akan kasih sayang Ilahi. Di jalan dzikir, seorang yang keras bisa menjadi lembut, seorang yang angkuh bisa menjadi rendah hati, seorang yang pernah jatuh dalam lembah dosa dapat bangkit sebagai sosok yang dihiasi kebaikan.
Karena dzikir adalah napas ruhani, mengubah batin dari kegelapan menuju terang. Dzikir membimbing manusia dari jalan keburukan menuju jalan yang diridhai-Nya, dari kegelapan menuju terang yang abadi.
الله ‘azza wajalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا * وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42)
Ketika hati berlumur dzikir, ia akan menjadi cermin cahaya Ilahi, memancarkan cinta dan kasih sayang kepada sesama. Dengan istiqomah dzikir, seorang yang dahulu jauh dari الله dan terperangkap dalam kegelapan dosa, kini akan berpendar dalam cahaya kelembutan. Ketika seseorang melazimkan dzikir, niatnya senantiasa dibimbing pada kebaikan, ucapannya dipenuhi dengan adab, dan perilakunya menjadi refleksi kasih dan rahmat الله.
Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan dzikir kepada الله.” (HR. Tirmidzi)
Mereka yang lisannya basah dengan dzikir adalah mereka yang dipenuhi cahaya, karena dzikir tidak hanya menjadi amalan, tapi menjadi keadaan hati. Dzikir yang istiqomah telah dan akan slalu mengubah jiwa menjadi penuh kasih, membuatnya tak lagi mampu menyakiti, apalagi menciderai perikemanusiaan.
Dzikir adalah penjaga hati dari niat buruk, tameng dari bisikan jahat. Orang yang menjauhi dzikir kerap kali tenggelam dalam kerakusan, dalam hasrat duniawi, yang menjauhkan ia dari sifat rahmah, sehingga tak lagi peka pada penderitaan sesama.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis, “Dzikir adalah cahaya bagi hati, pembuka pintu rahmat Alloh yang menyucikan jiwa dari kegelapan dosa dan kelalaian.” (Ihya’ Ulumuddin, Juz 1, Bab Dzikir, halaman 295–300). Sebagaimana dzikir mampu menerangi jalan ruhani, ia juga menuntun seorang hamba untuk terus beribadah dan berbuat baik, melampaui batas kewajiban, hingga kebaikan itu menjadi sifat yang melekat.
Tuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dalam Al-Fath ar-Rabbani wal Faidh ar-Rahmani, menjelaskan bahwa dzikir adalah perisai bagi jiwa. Beliau mengatakan, “Dzikir akan memutuskan kecintaan pada dunia dan mengangkat cinta kepada Alloh.” (Al-Fath ar-Rabbani, ceramah-ceramah awal, sekitar halaman 25–30). Dengan dzikir, manusia meninggalkan hawa nafsu yang menguasai hati, sehingga hatinya menjadi lembut, penuh kasih sayang.
Bagi yang istiqamah dalam dzikir, dzikir menjadi cinta yang mendalam, kasih yang terpancar, dan cahaya yang menjadi petunjuk kehidupan. Tetapi mereka yang meninggalkan dzikir, mereka yang membiarkan lisannya jauh dari asma Alloh, akan menemukan hati yang mudah dimasuki keburukan. Semakin jauh dari dzikir, semakin jauh pula dari rasa kemanusiaan, sehingga mudah ia terpeleset dalam niat buruk dan tindak tanduk yang menyakiti sesama.
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, Syaikh Junaid al-Baghdadi menyebutkan bahwa “Dzikir adalah kebeningan hati yang menceburkan ruhani ke dalam samudera kedekatan.” (Risalah al-Qusyairiyyah, Bab Dzikir, halaman 38–45). Mereka yang hatinya bening dengan dzikir, akan selalu berada di jalan yang lurus, selalu mendekat pada kasih dan rahmat-Nya, dan memberi manfaat bagi sekitarnya.
Dzikir menuntun jiwa ke kesucian jiwa, menjadi rahmat bagi diri sendiri dan sesama, menciptakan insan-insan yang berperikemanusiaan dan penuh cinta. Sebab siapa yang istiqomah dalam dzikir, ia tidak hanya mendekat pada Tuhannya, tetapi juga menjadi cahaya bagi sesama, menerangi kehidupan dengan kebaikan.
*) Khoodimul khoosh Hadltorus Syeikh Muhammad Abdul Gaos SM Ra Qs.