Kebahagiaan dan Kesengsaraan Manusia

admin111
admin111
6 Min Read

Oleh: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs

Manusia, sebanyak apa pun jumlahnya, pada dasarnya terbagi ke dalam dua golongan: mereka yang bahagia dan mereka yang sengsara. Keterangan ini diambil dari kitab Sirr al-Asrār, karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasallahu sirrah, yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad ﷺ:

الشقي والسعيد في بطن أمه

Artinya: “Orang yang sengsara dan yang bahagia telah ditentukan sejak dalam kandungan ibunya.” (Sirr al-Asrār, hlm. 38)

- Advertisement -

Yang dimaksud dengan “dalam kandungan ibunya” adalah kumpulan unsur-unsur yang membentuk kekuatan manusia. Tanah dan air melambangkan kebahagiaan karena keduanya dapat menghidupkan serta menumbuhkan ilmu, iman, dan tawadhu dalam hati. Sebaliknya, api dan angin melambangkan penderitaan dan kesengsaraan, karena keduanya dapat membakar serta mematikan. Maha Suci الله yang telah memadukan unsur-unsur berlawanan dalam satu tubuh, sebagaimana Ia memadukan antara air dan api, serta antara cahaya dan kegelapan dalam awan, sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنْشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ

Artinya: “Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung.” (QS. Ar-Ra’d: 12-13)

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi pernah ditanya, “Bagaimana cara mengetahui الله?” Ia menjawab, “Dengan melihat keterpaduan antara hal-hal yang berlawanan.” Oleh karena itu, manusia adalah naskhah (salinan induk) dari Al-Kitab, bagaikan cermin yang memantulkan keagungan dan keindahan-Nya. Manusia disebut sebagai penghimpun segala sesuatu (al-jāmi’), serta disebut juga sebagai alam besar (al-‘ālam al-kubrā), karena الله menciptakannya dengan tangan kekuasaan-Nya—yaitu sifat jalaliyyah (keagungan) dan jamaliyyah (keindahan).

Manusia memiliki dua sisi, yaitu kelembutan dan kekuasaan الله. Berbeda dengan malaikat yang hanya memiliki sifat lembut dan tugasnya hanyalah bertasbih serta mensucikan diri. Sebaliknya, iblis hanya memiliki sifat kuasa, yang membuatnya sombong dan enggan bersujud kepada Nabi Adam عليه السلام.

Maka dari itu, manusia mencakup keseluruhan ciptaan, baik yang tinggi maupun yang rendah. Tidak ada yang luput dari kesalahan kecuali para nabi dan wali, karena mereka dilindungi dari dosa besar maupun kecil. Menurut satu pendapat, para wali dijaga oleh الله dari dosa besar setelah mencapai kesempurnaan dalam kewaliannya.

Tanda-Tanda Kebahagiaan dan Kesengsaraan

Syafiq al-Balkhi berkata:
“Tanda-tanda kebahagiaan ada lima: hati yang lembut, sering menangis dalam kesunyian, zuhud terhadap dunia meskipun halal, meninggalkan perkara haram meskipun sedikit, dan memiliki sifat pemalu.”

Sebaliknya, tanda-tanda penderitaan juga ada lima:

1. Hati yang keras karena lupa kepada الله

2. Mata yang kering, tidak pernah menangis karena terlalu cinta dunia.

3. Banyaknya keinginan duniawi yang berlebihan.

4. Keras kepala dan sulit dinasihati.

5. Sedikit rasa malu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَلَامَةُ السَّعِيدِ أَرْبَعَةٌ: إِذَا أُوتُمِنَ عَدَلَ، وَإِذَا عَاهَدَ وَفَى، وَإِذَا تَكَلَّمَ صَدَقَ، وَإِذَا خَاصَمَ لَمْ يَسْتُمِ النَّاسَ

Artinya: “Tanda orang yang berbahagia ada empat: jika diberi amanah, ia bertindak adil; jika berjanji, ia menepatinya; jika berbicara, ia berkata jujur; dan jika berselisih, ia tidak mencaci maki.”

Sebaliknya, Rasulullah ﷺ juga bersabda:

وَعَلَامَةُ الشَّقِيِّ أَرْبَعَةٌ: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا عَاهَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا تَكَلَّمَ كَذَبَ، وَإِذَا خَاصَمَ يَسْتُمُ النَّاسَ

Artinya: “Tanda orang yang sengsara ada empat: jika diberi amanah, ia berkhianat; jika berjanji, ia mengingkarinya; jika berbicara, ia berdusta; dan jika berselisih, ia mencaci dan memaki-maki orang lain.”

الله juga berfirman:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

Artinya: “Siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya terserah kepada الله.” (QS. Asy-Syura: 40)

Pendidikan sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan

Pergantian dari sengsara menuju bahagia, atau sebaliknya, dapat terjadi melalui pendidikan. Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Artinya: “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah Islam, namun kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Hadis ini menunjukkan bahwa setiap orang dapat menjadi bahagia atau sengsara. Oleh karena itu, tidak benar jika ada anggapan bahwa seseorang pasti selalu bahagia atau selalu sengsara. Yang benar adalah, seseorang menjadi bahagia jika amal baiknya lebih banyak daripada keburukannya, dan sebaliknya.

الله telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat baik, dan neraka bagi yang durhaka. Sebagaimana firman-Nya:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا

Artinya: “Siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri. Dan siapa yang berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya sendiri.” (QS. Fushilat: 46)

 

Berhati-Hati dalam Mencari Nafkah

Empat unsur yang menjadi penyebab kesegaran tubuh dan kekuatan manusia harus berasal dari sumber yang halal. Jika tidak halal, apalagi haram, maka dampaknya adalah kesengsaraan, kesedihan, dan kerugian di dunia serta akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka api neraka lebih layak baginya.”

Bahkan, doa orang yang memakan barang haram tidak akan diterima oleh الله.

Sebagai contoh, bukan hanya mencuri harta orang lain yang dilarang, tetapi juga menahan zakat wajib meskipun sudah mencapai nisab. Harta yang tidak dizakatkan berarti masih mengandung hak orang lain. Jika dibiarkan bercampur dengan harta yang halal, maka statusnya menjadi syubhat—tidak sepenuhnya halal, namun juga tidak sepenuhnya haram.

Sebagaimana perkataan seorang ulama tasawuf:

مَنْ أَكَلَ الْحَلَالَ صَفَا دِينَهُ

Artinya: “Barangsiapa memakan makanan halal, maka sucilah agamanya.”

 

Share This Article
Leave a comment