KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM

admin111
admin111
32 Min Read

Oleh: K.H. Mahmud Jonsen Al Maghribi, M.Si.
(Wakil Talqin Pangersa ABAH AOS dari Tanggerang)

Sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, untuk bertafakur beliau mengasingkan diri di Gua Hira pada setiap bulan Ramadhan. Gua itu terletak di sebelah utara kota Mekah. Dengan membawa sedikit perbekalan sebulan penuh beliau menyendiri di tempat sunyi untuk mencari kebenaran yang tidak dijumpainya dalam masyarakat pedagang Mekah, yang hanyut dalam kematerian dan penyembahan mereka. Beliau melihat bahwa agama yang mereka anut bukanlah agama yang benar; adat yang mereka pakai dalam hidup kemasyarakatan mereka bukanlah adat yang betul. Dengan banyak berpuasa dan beribadat di Gua Hira, jauh dari kehidupan kematerian Mekah pada bulan-bulan Ramadahan, jiwa beliau makin suci. Dengan demikian, beliau siap menerima Firman Tuhan. Akhirnya, Jibril turun menyampaikan wahyu pertama kepada beliau. Muhammad pun menjadi Rasullullah. Selanjutnya, wahyu demi wahyu turun dalam masa dua puluh tiga tahun; wahyu yang sekarang terkumpul dalam Al-Qur’an yang menjadi Kitab Suci kita umat Islam.

Ajaran dasar yang beliau terima adalah Tauhid. Ajaran tersebut mengajarkan bahwa Tuhan Pencipta alam semesta adalah Satu dan Maha Esa. Selama hidup beliau sebagai Rasullullah, Nabi Muhammad menjadi teladan yang baik dalam pelaksanaan ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan itu. Setelah Hijrah ke Madinah, umat yang beliau bentuk di Madinah bukan hanya merupakan umat beragama saja, tetapi telah meningkat menjadi umat yang bernegara. Negara Madinah terbentuk setelah Nabi Muhammad hijrah ke Yathrib dan yang menjadi kepalanya, panglima perangnya, hakimnya dsb. adalah beliau sendiri. Akan tetapi, sungguhpun beliau telah menjadi Kepala Negara, beliau tetap menjalani hidup dengan sederhana. Sebagaimana sebelumnya beliau tetap banyak beribadat mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak mementingkan materi (zuhud). Kalau tidak ada makanan di rumah, kurma cukuplah bagi beliau. Bahkan, menurut ‘Aisyah, istri Nabi, berbulan-bulan beliau pernah tidak memakan roti ataupun kurma.

Zuhud dan kesederhanaan hidup beliau disamping beribadat, tetapi dengan tidak seluruhnya meninggalkan hidup kematerian, ditiru oleh para Sahabat, terutama Abu Bakar, Umar Ibn Al-Khattab, Abu Dzar al-Ghiffari, dll. Mereka tetap zahid dari hidup kemewahan sungguhpun harta telah melimpah datang ke Baitul Maal di Madinah setelah negeri-negeri kaya seperti Mesir, Suria, Irak, dan Persia jatuh ke bawah kekuasaaan umat Islam.

- Advertisement -

Abu bakar, setelah diangkat menjadi khalifah sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam memimpin Negara Madinah, tetap hidup sederhana. Kesederhanaan hidupnya membuat uang dari Baitul Maal tidak diperlukannya. Demikian pula Umar Ibn al-Khattab adalah kahlifah yang mengalahkan kerajaan Bizantium dalam peperangan Mesir, Palestina, Suria, serta Irak. Dialah yang menghancurkan kerajaan Persia sehingga dengan demikian Negara Madinah dari Negara kecil menjadi Negara besar yang disegani Bizantium. Sungguhpun ia telah menjadi Kepala Negara Besar, ia tetap hidup sederhana dan zahid dari kemewahan hidup. Sebagai Amir al-Mu’minin ia dikenal mempunyai hanya satu potong pakaian yang kalau sedang dicuci mambuat ia terhambat datang ke Masjid Madinah untuk memimpin shalat Jum’at. Dalam pada itu baju yang sepotong itu telah pula dipenuhi tempelan di sana-sini karena koyak. Waktu ia berkunjung ke Baitul Magdis sebagai Amir al-Mu’minin, ia naik unta sebagaimana biasa ditemani oleh seorang budak. Ketika ia melihat Mua’awiyah Ibn Abi Sufyan telah hidup mewah dan berpakaian mewah, gubernurnya itu dimarahi. Demikianlah, Nabi Muhammad berserta para Sahabat dekatnya zahid dari dunia materi ini dan menjalani hidup sederhana serta banyak melakukan ibadat.

Sebaliknya setelah masa Khulafa’ al-Rasyidin selesai dan kahlifah Bani Umayyah berdiri, para kahlifah yang datang sesudah Khualafa’ a-Rasyidin telah meninggalkan kezahidan dan kehidupan sederhana. Mereka telah tertarik pada kehidupan dunia materi bahkan telah berani melakukan peruatan-perbuatan yang bukan saja tidak sejalan dengan Sunnah Nabi Muhammad saw. dan Sunnah Sahabat, malahan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, melihat kemewahan hidup dan dosa-dosa yang dilakukan kalang atas di zaman Bani Umayyah, orang kemudian teringat pada kezuhudan, kesederhanaan hidup, dan kesucian diri Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya.

Sebenarnya, pembunuhan yang terjadi terhadap Usman Ibn Affan, Khalifah Ketiga, dan pertentangan politik serta peperangan yang terjadi antara Ali dengan barisan Tolhah-Zubair-Aisyah dan kemuadian antara Ali dan Muawiyah Ibn Abu Sufyan telah menimbulkan segolongnan umat yang menjauhkan diri dari masyarakat yang kacau itu. Persaingan politik yang menimbulkan peperangan dan pembunuhan sesama Muslim, mereka lihat tidak sejalan dengan Sunnah Nabi Muhammad saw, bahkan bertentangan dengan ajaran dalam Al-Qur’an. Dalam mengasingkan diri itu mereka banyak melaksanakan ibadat. Mereka melarikan diri dari masyarakat berkelahi dan tidak patuh itu sesuai dengan ayat :

“Larilah kamu kepada Tuhan, Aku adalah pemberi ingat yang dating dan dari pada-Nya.”


Mereka disebut Mu’tazilah yang berasal dari kata i’tazala (mengasingkan diri). Dalam sejarah mereka dikenal dengan Mu’tazilaPertama untuk membedakan dengan Mu’tazilah Kedua yang ditimbulkan Wasil Ibn ‘Ata’. Mu’tazilah Pertama lahir karena masalah politik, sedangkan Mu’tazilah Kedua timbul karena masalah akidah[1]

Disamping banyak beribadat, mereka juga menjauhkan diri dari kehidupan dunia materi. Mereka kembali ke hidup zuhud dan sederhana yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya. Sebagai  akibat timbullah aliran zuhud dalam Islam. Mula-mula di Basrah dan Irak, kemudian meluas ke kota-kota Islam lainnya di luar Irak. Zahid Irak yang terkenal adalah al-Hasan al-Basri (W. 110 H), yang mengajar di Masjid Basrah dan berpendapat bahwa pembuat dosa besar adalah Mu’min dan bukan Kafir. Pendapatnya ini tidak disetujuai oleh Wasil Ibn ‘Ata’, yang mempunyai paham bahwa pembuat dosa besar bukanlah Mu’min, tetapi bukan pula Kafir. Pendapat yang menjadi salah satu ajaran dasar Mu’tazilah Kedua.

Seorang zahid besar lain dari Irak adalah Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), yang sebagaimana Hasan al-Basri adalah juga seorang ulama, tetapi dalam hokum Fiqih. Karena zuhudnya, ia menolak tawana khalifah kepadanya untuk menjadi Hakim.

Di luar Irak muncul Ibrahim Ibn Adham di Khurasan, Persia (W. 162 H), yang mengatakan “tinggalkan dunia. Cinta dunia membuat orang tuli serta buta dan menjadi budak”. Di Madinah muncul Ja’far al-Sadiq (W. 148 H) dari Ahlil Bait, Imam Ke-enam dari Syi’ah Dua Belas.

Para zahid-zahid pada zaman Usman, Ali, dan Bani Umayyah tersebut, nyatanya bercabang menjadi dua. Zahid-zahid seperti al-Hasan al-Basri, Sufyan Tsauri dan Ja’far Sadiq, disamping banyak beribadat, mencurahkan pula perhatian pada ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu dalam Islam, bukan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal dengan nama sains. Salah seorang zahid yang memusatkan perhatian pada sains adalah Jabir Ibn Hayyan.

Pada saat rasa takut yang mendorong mereka untuk beribadat dan bertobat, Tuhan mereka rasakan jauh sekali. Sebaliknya, ketika rasa cinta yang menjadi dorongan, Tuhan mereka rasakan dekat sekali. Ayat-ayat Al-Qur’an memang menggambarkan bahwa Tuhan dekat sekali dengan hamba-Nya. Diantara ayat-ayat itu adalah yang berikut :

Cabang yang satu lagi memusatkan seluruh perhatiannya pada ibadat. Mereka takut akan azab neraka yang dijanjikan Tuhan dalam Al-Qur’an bagi pembuat dosa. Mereka banyak beribadat dan bertobat. Hiburan bagi mereka ialah dengan mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan banyaknya beribadat, akhirnya mereka dapat merasakan kasih sayang Tuhan. اللّٰه adalah ar-Rahman dan ar-Rahim, pengasih lagi penyayang. Rasa takut, yang pada mulanya mendorong mereka untuk banyak beribadat, bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan pun hilang dan sebagai gantinya timbul rasa cinta kepada اللّٰه swt.

wa-idzaa sa-alaka ‘ibaadii ‘annii fa-innii qariibun ujiibu da’wata alddaa‘i idzaa da’aani falyastajiibuu lii walyu/minuu bii la’allahum yarsyuduuna
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah : 186).

Da’wah al-da’i dalam ayat ini, bagi kaum sufi bukanlah berarti doa orang yang meminta, sebagaimana diartikan, tetapi panggilan orang yang memanggil atau himbauan orang yang menghimbau. اللّٰه swt. akan mendekatkan diri orang yang menghimbau kepada diri-Nya, kalau ia menghimbau.

walaqad khalaqnaa al-insaana wana’lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wanahnu aqrabu ilayhi min hablialwariidi
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (QS. Al-Qaaf : 16).

Tuhan lebih dekat kepada manusia dari pada pembuluh darah yang ada di dalam dirinya sendiri. Begitu dekatnya Tuhan kepada hambanya yang mencintai-Nya dan yang dicintai-Nya. Hadist juga mengambarkan dekatnya Tuhan kepada manusia, umpamanya hadist berikut :

“Siapa yang kenal akan dirinya, kenal akan Tuhannya”

Hadist ini mengandung arti bahwa untuk mengenal Tuhan, orang tak perlu jauh-jauh. Ia cukup masuk ke dalam dirinya dan mencoba mengenal dirinya. Kalau ia telah kenal dirinya, ia akan kenal Tuhan.

Tuhan yang ditakuti memang dirasakan jauh, tetapi Tuhan yang dicintai dirasakan dekat. Bahwa antara اللّٰه swt. dan hamba-Nya terdapat hubungan cinta-mencintai disebut juga dalam Al-Qur’an. Diantara ayat-ayatnya adalah yang berikut :

فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

Artinya: “maka kelak اللّٰه akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya” (Qs. Al Maidah ayat 54)

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “Jika kamu cinta pada اللّٰه swt. maka turutlah aku dan اللّٰه akan mencintaimu” (Qs. Ali Imran ayat 31)

Juga hadist ada yang menggambarkan adanya hubungan cinta antara Tuhan dan hamba-Nya, umpamanya hadist berikut :

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan baik hingga Aku cinta kepadanya. Dan orang yang Ku-cintai, Aku menjadi telinga, mata dan tangan baginya”

Ayat-ayat dan hadist di atas jelas sekali menggambarkan adanya hubungan cinta antara Allah swt. dan hamba-Nya, sehingga jika diantara zahid-zahid tersebut di atas ada yang merasakan betul cintanya kepada Tuhan, tidaklah itu bertentangan, malahan sejalan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi.

Zahid yang pertama kali dikenal merasakan cinta kepada اللّٰه adalah Rabi’ah al-Adawiah (W. 135 H), teman berdialog dari Sufyan al-Tsauri. Kalau Sufyan al-Tsauri adalah zahid yang menekuni ilmu; Rabi’ah al-Aldawiah adalah zahid yang menekuni pendekatan diri kepada Tuhan dengan banyak beribadat dan berbuat baik. Dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan itu, ia sampai ke tingkat dimana kalbunya merasakan cinta ikhlas kepada Tuhan, yang dalam istilah tasawuf disebut al-hubb al-ilahi. Ia cinta kepada Allah bukan karena ingin dijauhkan Tuhan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, atau karena kepentingan lain untuk dirinya. Ia cinta kepada اللّٰه semata-mata karena اللّٰه. Cinta suci itu dibalas oleh اللّٰه dengan membukakan hijab dari depan matahatinya dan ia pun melihat اللّٰه. Ini kelihatan dari syair Rabi’ah :

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Adapun cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingay-Mu. Dan cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat”

Jika Sufyan al-Tsauri tetap menjadi zahid, Rabi’ah al-Adawiah telah menjadi sufi. Kalau zahid hanya menekankan kesederhanaan hidup dengan menjauhkan diri dari kemewahan hidup materi, adapun Sufi di atas itu, ia berusaha mendekati Tuhan sehingga ia merasakan cinta Tuhan dan melihat Tuhan dengan mata hatinya. Tiap sufi haruslah zahid, tetapi tidak tiap zahid adalah sufi. Sebelum menjadi sufi ia harus menjadi zahid terlebih dahulu.

Dari uraian historis di atas jelas kelihatan bahwa tasawuf dalam Islam berasal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu dari Sunnah Nabi Muhammad saw. serta sunnah para Sahabat dekatnya, dan dari ayat-ayat Al-Quran, diantaranya seperti berikut :

Artinya : Hidup di dunia hanyalah kesenagan tipuan

Artinya : Kehidupan di dunia ini hanyalah canda dan permainan belaka. Sungguh negeri akhiratlah hidup yang sebenarnya, sekiranya mereka tahu.

Artinya : Telah tenanglah orang yang membersihkan diri, yang menyebut nama Tuhannya dan yang melakukan shalat. Tetapi kamu lebih suka hidup di dunia sedang akhirat lebih baik dan lebih kekal.

Tidak benarlah pendapat bahwa tasawuf dalam Islam timbul atas pengaruh-pengaruh dari luar Islam seperti pengaruh falsafat Yunani, agama Kristen, Hindu, Budha, dll. Tidaklah pula benar pendapat bahwa kata “Sufi” berasal dari kata Sophos Yunani, karena Sophos telah masuk ke dalam bahasa Arab falsafah, dan falsafah ditulis dengan sin dan bukan dengan shad, yang terdapat dalam kata shufi dan tashawwufShufi berasal dari kata Arab shuf, kain wol, yang banyak dipakai zahid-zahid masa lampau. Wol yang dimaksud adalah wol kasar yang ditenun dengan cara sederhana dari bulu domba dan melambangkan kesederhanaan sebagai lawan dari sutra, yang dipakai kaum Atasan sebagai lambing kehidupan mewah.

Memakai kain wol kasar ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abu ‘Ubaidah, dilanjtkan al-Tabi’in, dan begitu seterusnya sampai kepada zahid-zahid tersebut di atas.

Akan tetapi siapa yang pertama kali memakai kat sufi, mengenai masalah ini dijumpai perbedaan pendapat. Menurut Abd al-Rahman Jami, Abu Hasyim al-Kuffah (W. 150 H) yang pertama kali memakai gelar sufi. Sebaliknya menurut pengarang Tazkirah al-Awlia, yang pertama kali memakai nama itu adalah Jabir Ibn Hayyan. Ia dikenal dengan sebutan Jabir al-Shufi.

Selanjutnya tasawufpun berkembang dalam Islam. Sesudah Rabi’ah al-Adawiah dengan pengalaman hub ilahi-nya, muncul kemudian Zunnun al-Mishri dengan pengalaman ma’rifat-nya. Yang dimaksud dengan ma’rifah ialah melihat Tuhan dengan mata hati. Hal ini terjadi setelah kalbu sufi dengan ibadat dan dzikirnya yang banyak menjadi suci sesuci-sucinya sehingga timbul daya sir yang ada di dalamnya; melalui daya sir inilah sufi melihat Tuhan. Bahkan yang dilihat bukah Tuhan saja, tetapi juga rahasia-rahasia Tuhan. Kata Zunnun, “Hakikat ma’rifat adalah keadaan al-Haqq menampakkan rahasia-rahasia dalam kalbu melalui cahaya cemerlang”. Kata orang-orang sufi, “Seorang arif disinari dengan cahaya ilmu dan dengan demikian melihat rahasia-rahasia alam ghaib”.

Dalam tingkat ma’rifat, sufi telah dekat sekali dengan اللّٰه swt. sehingga ia telah melihat cahaya zat اللّٰه swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika penampakan (tajali) zat menimbulkan tauhid, penampakan kebesaran-Nya menimbulkan kekaguman. Cinta membuat sufi ingin berada lebih dekat dengan اللّٰه swt. Maka dikenallah Abu Yazid al-Bustami yang bertanya kepada اللّٰه swt. dalam mimpinya; “Bagaimana caranya untuk sampai kepada-Mu?” Jawab Tuhan; “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.

Dalam usahanya untuk berada lebih dekat dengan Tuhan, Abu Yazid al- Bustami akhirnya mengalami al-fana’ an nafs, yaitu penghancuran diri, dan al-baqa’billah yaitu kelanjutan wujud bersama Allah swt. dan terjadilah al-ittihad, persatuan dengan Tuhan. Bahkan Abu Yazid al-Bustami mengalami bahwa ia hancur lebur dalam diri Tuhan; ia tak ada lagi, yang ada hanyalah اللّٰه swt.

Hal ini digambarkan Abu Yazid dalam perjalanan Mi’raj-nya. Dalam mi’raj itu Tuhan berkata kepadanya, “Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihatmu”. Jawab Abu Yazid, “Aku tak ingin melihat mereka, tetapi kalau itulah kehendak-Mu aku tak dapat menentang kehendak-Mu. Tetapi hiasilah aku dengan keesaaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu meliha aku mereka berkata, “Telah kami lihat Engkau”. Padahal yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena aku tak ada lagi”.

Dalam keadaan semacam ini timbullah ucapan-ucapan ganjil dari mulut Abu Yazid yang dikenal dengan nama syathahat, yaitu kata-kata yang mengalir dari seorang sufi karena rasa cinta nya kepada اللّٰه swt., seperti; “Tiada yang kuhendaki dari اللّٰه kecuali اللّٰه sendiri. Orang tobat dari dosa mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku; tiada Tuhan selain Allah. Tiada dalam jubbah ini selain اللّٰه.”

Kata-kata itu memang membingungkan bagi orang bukan sufi dan orang yang tidak mempelajari tentang tasawuf, bahkan bisa dianggap membawa kepada kekufuran. Syahadat Laa Ilaaha Illallaah-lah yang membuat seseorang menjadi Muslim, akan tetapi Abu Yazid tobat dari ucapan demikian. Sebenarnya syahadat Laa Ilaaha Illallaah, belum cukup bagi sufi, karena kata Allah itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi. Tuhan masih ghaib di belakang tabir. Keinginan sufi ialah berada dekat dengan Tuhan di balik tabir; melihat Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Syahadat yang dikehendaki sufi ialah Laa Ilaaha Illa Anta, tiada Tuhan selain Engkau. Jadi Abu Yazid sebenarnya bukan tobat dari mengesakan Tuhan, tetapi tobat dari masih jauhnya ia dari Tuhan. Sedangkan yang amat didambakan dari seorang sufi ialah merasakan dekatnya Allah kepadanya.

Arti inilah pula yang dikandung ucapan; “Tiada kukehendaki dari Tuhan kecuali Tuhan”. Sufi tidak meminta dari Tuhan supaya dimasukkan ke dalam surga, karena masuk surga berarti jauh dari Tuhan. Yang mereka minta ialah dekat dengan Tuhan.

Sesudah Abu Yazid al-Bustami, datanglah al-Hallaj dengan pengalaman hulul-nya yang juga mengandung arti bersatu dengan Tuhan. Dalam menyucikan jiwa melalui ibadah dan dzikir, al-Hallaj merasakan nasut-nya, yaitu sifat kemanusiaannya telah lenyap. Ketika itu, Tuhan-pun menerima ruh-nya yang suci itu untuk bersatu dengan Tuhan. Jadi yang dialami oleh al-Hallaj bersatunya ruh-nya yang suci sesuci-sucinya dengan ruh Allah.

Di dalam diri manusia memang ada ruh Tuhan, yang disebut ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain :

Artinya : “Kemudian Ia jadikan keturunannya dari sari air yang hina dan kemudian Ia memberinya bentuk hembuskan ke dalamnya dari ruh-Nya.”

Yang dialami al-Hallaj jadinya adalah persatuan ruh yang dihembuskan Tuhan ke dalam dirinya dengan Ruh Tuhan, sebagimana kelihatan dari ungkapannya berikut : “Ruh-Mu disatukan dengan ruh-ku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci”.


Sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj juga mengeluarkan syathahat, antara lain ucapannya yang masyhur Ana al-Haqq. Akulah Tuhan Yang Maha Besar.

Syathahat sufi inilah yang membuat orang berpendapat bahwa tasawuf tidak cocok, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagaimana orang takut dengan falsafah, orangpun takut dengan tasawuf dan orang-orang sufi pun sebagai filosof-filosof dianggap telah keluar dari Islam. Tasawuf dan falsafah dijauhi.

Kemudian muncul dalam sejarah Islam, Abu Hamid al-Ghazali yang dikenal dengan Hujatul Islam. Ia di dalam sejarah hidupnya dihinggapi penyakit syak. Jalan untuk memperoleh pengetahuan ialah panca indera dan akal. Ia alami bahwa pancaraindera ada kalanya berdusta. Bayangan pohon pada mulanya kelihatan tidak pindah tempat, tetapi sejam kemudian ia ternyata pindah dari tempat semula. Pancaindera, dengan demikian tidak bisa dipercayai.

Begitu pula akal tidak dapat dipercayai. Dikala tidur orang yakin bahwa apa yang dialaminya dalam mimpi adalah betul-betul kenyataan. Akan tetapi, setelah bangun dan kesadaran timbul ia bahwa apa yang dialaminya adalah khayalan belaka.

Bagaimana jadinya pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pancaindera dan akalnya? Tak bisa dipercaya. Timbullah rasa syak dalam diri al-Ghazali sehingga ia menjadi sakit.

Kemudian ia memperoleh jalan sufi yang memperoleh pengetahuan malalui al-dzauq. Untuk itu ia mengasingkan diri ke Damaskus, al-quds, Mekah dan Madinah, beribadah dan berdzikir guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Akhirnya, ia pun sampai ke tingkat ma’rifah yang telah dialami oleh Rabi’ah dan terutama Zunnun al-Misri. Yang ditekannya dalam ma’rifah ialah ilmu yang diperoleh sufi ketika melihat Tuhan. Ma’rifah ia artikan : “Mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan yang mencakup segala yang ada”.

Dengan menempuh jalan tasawuf dan sampainya ia ke tingkat ma’rifah, kembalilah al-Ghazali kepada keyakinannya yang lama. Dalam kata-katanya sendiri : “ Pengetahuan-pengetahuan akal menjadi dapat diterima dan diyakini kebenarannya, bukan melalui argument-argumen intelektual, tetapi melalui cahaya yang disinarkan Tuhan ke dalam dada, dan cahaya itu adalah kunci bagi kebanyakan ilmu”. Di tempat lain, ia mengatakan : “ Akupun yakin bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang lebih dahulu sampai ke jalan Allah, bahwa jalan mereka adalah sebaik-baik jalan dan bahwa budi pekerti mereka adalah semulia-mulia budi pekerti”.

Dalam pada itu, al-Ghazali tidak pula mengkafirkan Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang mengeluarkan syathahat dan ucapan-ucapan ganjil mereka, sebagaimana ia mengkafirkan filosof-filosof Islam yang berpendapat bahwa alam ini qodim, tidak mempunyai permualaan dalam wujud, sama dengan Tuhan. Ucapan al-Hallaj, “Akulah Yang Maha Benar”, dan ucapan Abu Yazid, “Tiada di bawah Jubbah ini selain Allah”, sebenarnya jauh lebih hebat daripada pendapat filosof bahwa alam qodim dan bahwa pembangkitan jasmani tidak ada.

Dalam ittihad atau hulul Abu Yazid dan al-Hallaj, kata al-Ghazali, sampai kepada kedekatan dengan Tuhan, yang tak dapat digambarkan lagi dengan kata-kata, dan timbullah khayal bahwa mereka telah bersatu dengan Tuhan, padahal keadaannya bukan begitu. Dalam hal demikian kaum sufi seharusnya diam dan tak mengatakan selain; “Apa yang terjadi telah terjadi dan aku tak ingat lagi, anggaplah itu hal yang baik, dan janganlah tanya hakikatnya”.

Maka al-Ghazali tidak mencaci sufi-sufi yang mengeluarkan syathahat itu, bahkan Abu Yazid al-Buatami diikutsertakannya dalam sufi-sufi yang ia mohonkan supaya Allah mensucikan arwah mereka.


Pendapat al-Ghazali bahwa kaum sufi adalah orang-orang suci, yang berbudi pekerti luhur dan menempuh jalan yang benar di jalan Allah, mengubah pandangan ulama syari’ah, dan umat Islam tentang tasawuf dan kaum sufi. Kalau sebelum al-Ghazali, jalan kaum sufi dijauhi ulama syari’ah, maka setelah tulisan-tulisannya mengenai tasawuf banyak beredar, ulama syari’at pun memulai menempuh jalan yang selama ini disangkakan sesat.

Timbullah dalam sejarah Islam sufi-sufi besar lain, seperti Abdul Qodir al-Jilani, al-Suhrawardi, al-Naqsabandy, Muy al-Din Ibn Arabi, dll. Sufi-sufi besar itu meninggalkan murid-murid dan pengikut-pengikut, dan sebagian dari mereka membentuk organisasi dalam usaha melestarikan ajaran guru, kemudian bermunculanlah tarekat tasawuf di dunia Islam. Melalui tarekat-tarekat ini meluaslah ajaran tasawuf ke seluruh dunia Islam.

Jelas kiranya bahwa tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad saw. dimulai dari zuhud Nabi di gua Hira, tempat beliau dalam kata-kata al-Ghazali; “Menyendiri dengan Tuhannya dan beribadah, sehingga beliau, menurut orang Arab, asik kepada Tuhannya”. Sunnah Nabi ini yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an diteruskan oleh sahabat-sahabat beliau, kemudian oleh tabi’in, dan kemudian lagi oleh zahid-zahid pada abad kedua Hijriah. Dari zahid-zahid inilah timbullah orang-orang yang mencintai dan dicintai Tuhan sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, muncullah kaum sufi dalam ajaran Islam.

Falsafat taswauf adalah yang berikut; Allah swt. adalah zat yang bersifat rohani atau imateri dan Maha Suci. Zat yang demikian tidak bisa didekati kecuali oleh yang bersifat rohani pula dan dalam pada itu harus pula suci, maka yang akan dapat mendekatkan diri kepada Allah adalah Ruh Manusia, dan bukan tubuhnya, yang mempunyai hawa dan nafsu.

Ruh sebelum masuk ke dalam tubuh memang suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh, bisa, bahkan acapkali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu tubuh. Maka agar dapat mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu disucikan. Sufi-sufi besar telah merintis jalan untuk pensucian jiwa itu yang dikenal dengan thariqah, jalan, yang mempunyai maqamat, stasion-stasion. Di stasion-stasion inilah, orang yang ingin menjadi sufi membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang melekat padanya.

Stasion itu dimulai dengan al-taubah. Tobatlah langkah pertama untuk membersihkan ruh. Mula-mula orang tobat dari dosa-dosa besar, seperti memfitnah, menjalankan riba, membunuh, berzina dsb. kalau sudah bersih dari dosa-dosa besar, ia mulai meninggalkan dosa-dosa kecil, seperti; berdusta, mencuru kecil-kecilan, tidak menepati janaji, dsb. kemuadian ia membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan makruh seperti minum sambil berjalan. Selanjutnya, dari perbuatan-perbuatan syubhat seperti; memakan makanan di rumah orang yang dicurigai mengadakan korupsi. Allah swt. adalah Maha Suci dan tak dapat didekati kecuali oleh orang-orang yang bebas dari dosa-dosa; bebas dari perbuatan-perbuatan haram; bebas dari perbuatan-perbuatan yang melanggar perintah dan larangan Allah; bahkan bebas dari yang makruh dan syubhat. Seorang sufi yang diterima Tuhan mendkatkan diri kepada-Nya adalah orang yang betul-betul suci.


Untuk memantapkan tobatnya, calon sufi meningkat  ke maqam al-zuhd. Disini ia mengasingkan diri ke tempat sunyi, seperti dilaukan al-Ghazali, banyak berpuasa, banyak melakukan shalat, banyak membaca Al-Qur’an dan berdzikir, dan menyebut nama Allah. Dengan banyaknya berpuasa, hawa nafsu yang ada di dalam tubuh menjadi lemah. Akhirnya kesenangan materi tidak mengganggu calon sufi lagi. Ia sudah dapat mengekang hawa nafsunya bahkan ia pun tak tertarik lagi kepada dunia materi. Kebahagiaannya terletak di dalam ibadat, berdzikir, dan mendekatkan diri kepada اللّٰه swt.

Selanjutnya ia memasuki maqam al-faqr. Ia hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada. Calon sufi tidak meminta dari Tuhan kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajibanya. Pada tingkat lebih tinggi ia tidak meminta apa-apa, tetapi kalau diberi Tuhan ia tidak menolak pemberian itu.

Kemudian ia meningkat ke maqam al-sabr. Disini ia sabar menjalankan perintah-perintah dan larangan-larangan اللّٰه swt. Kalau ada percobaan dari Tuhan, ia menerimanya dengan hati yang sabar dan dengan sabar pula menunggu datangnya pertolongan.

Seterunya ia meningkat ke maqam al-tawakkul. Disini ia menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; bahkan apa yang ada hari ini ia serahkan kepada orang yang lebih berhajat. Ia percaya kepada janji اللّٰه swt. ia menyerah kepada اللّٰه, dengan اللّٰه, dan karena اللّٰه.

Setelah itu, ia sampai ke maqam al-ridha. Disini ia menerima dengan hati senang apa saja yang dating dari Tuhan. Jika malapetaka dating ia diterima dengan senang hati sebagaimana ia senang hati menerima nikmat. Di dalam hatinya tidak ada lagi rasa benci, yang ada ialah rasa senang dan cinta kepada اللّٰهswt.

Kemudian ia pun sampai kepada maqam al-mahabbah yang dialami Rabi’ah al-Adawiah. Disini rasa cinta kepada اللّٰه swt. yang mulai menampakkan diri di maqam al-ridha, bergelora dan sufi pun siang malam bermunajat kepada اللّٰه swt. Cinta kepada اللّٰه swt. telah memenuhi kalbu sufi, sehingga di dalamnya, dengan mengutip kata-kata Rabia’ah al-Adawiah, tidak ada ruang lagi untuk rasa benci kepada syetan.

Akhirnya cinta suci kepada اللّٰه swt. dibalas اللّٰه swt. dengan membuka tabir dari mata hatinya dan sufi pun sampai ke tingkat al-ma’rifah yang telah dibicarakan di atas.

Melihat Tuhan dari jarak dekat tidak memuaskan sufi, maka ia berusaha lebih dkat lagi dengan memperbanyak ibadat dan dzikir sehingga ia akhirnya sampai ke tingkat al-fana, al-baqa, dan al-ittihad. Disini sampailah sufi ke tingkat terakhir dari perjalannya.

Yang sampai ke tingkat al-mahabbah, al-ma’rifah, al-fana, al-baqa, dan ittihad ini hanyalah sufi yang betul-betul suci ruh dan jiwanya dari segala macam noda walaupun yang sekecil-kecilnya. Didalam sejarah mereka dikenal dengan nama wali-wali suci yang yang menerima karamah dari Allah swt. untuk itu mereka haruslah hamba Allah yang takwa, patuh menjalankan perintah dan larangan-Nya. Sehubungan dengan ini, Abu Yazid al-Bustami mengatakan, “Kalau sesorang menyatakan menerima karomah, janganlah lekas percaya. Lihat dulu apa ia menjalankan syari’at atau tidak”. Hanya orang yang menjalankan syari’at dengan sebaik-baiknyalah yang diterima Tuhan mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam pada itu ada pula anggapan bahwa kaum sufi dan kaum tarekat terlalu sibuk dengan ibadat serta dzikir mereka, sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban sosial mereka. Sejarah membuktikan bahwa anggapan itu tidak benar. Sufi-sufi besar yang menjadi perintis tasawuf menjalankan bukan saja ajaran perikemanusiaan saja, tetapi perikemakhlukan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Mereka mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi mereka. Abu Yazid al-Buatami tidak mau makan sebelum yakin bahwa orang-orang di sekitar tempat ia tinggal tidak ada yang kelaparan. Kalau ada, makanannya ia serahkan kepada mereka dan ia terus berpuasa. Bishr al-Hafi membuka bajunya di Rumah Sakit Baghdad dan menyerahkannya kepada temannya sekamar karena terlalu miskin untuk mempunyai baju. Abu Yazid berjalan kembali ke kampong temannya karena ketika pulang ke kampungnya sendiri seekor semut terbawa di bajunya. Ia pergi lagi untuk mengmbalikan semut itu ke kelompoknya di rumah temannya.

Tugas sufi adalah berdakwah mengajak orang ke jalan yang benar. Sufi yang masih yunior selalu disuruh sufi yang senior untuk pergi berdakwah ke masyarakat ramai. Setelah selesainya zaman futuhat, pembukaan daerah-daerah bagi Islam oleh khalifah-khalifah dan sultan-sultan, Islam disiarkan ke Afrika Tengah, Selatan, dan Asia Tenggara melalui pedagang-pedagang sufi dan tarekat-tarekat. Dalam mepertahankan tanah air Islam dari serangan kaum penjajah Barat, kaum sufi dan tarekat turut aktif dalam pertempuran seperti tarekat al-Tijaniyah serte al-Sanusiah di Afrika Utara dan al-Mahdiah di Sudan.

Kaum sufi adalah orang yang patuh menjalankan syari’at dan kewajiban sosialnya. Karena meninggalkan berarti berdosa, dan orang yang berdosa tidak diterima Allah swt. untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya. (Ponpes Suryalaya).A

Rabu, 13 Februari 2013

Share This Article
Leave a comment