Oleh: Dr. K.H. Subhan Asyierbonie
Dalam dunia tasawuf, manaqib bukan sekadar ritual, tetapi ibarat servis untuk ruh kita. Karena pada hakikatnya, ruh kita membutuhkan perawatan agar tetap bersih dan kuat menghadapi dunia yang penuh godaan. Bagian dari ruh yang harus terus dididik adalah nafsu. Jika nafsu tidak dididik, maka akan tumbuh menjadi nafsu ammarah (selalu menyuruh pada kejahatan) atau nafsu lawwamah (selalu menyalahkan), sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ﴿٩﴾ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا ﴿١٠
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Ruh yang terdidik akan memancarkan cahaya mahabbah, yaitu cinta kepada الله dan cinta kepada para kekasih-Nya. Mahabbah ini dibuktikan dengan kerinduan. Jika kita mengaku cinta kepada الله, maka kita akan merindukan momen-momen ibadah seperti salat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir. Orang yang mencintai الله akan selalu merasa kurang jika belum beramal, dan hatinya rindu untuk kembali sujud, kembali berdzikir, kembali menyatu dalam amalan bersama guru.
Imam Al-Ghazali, tokoh sufi besar, mengajarkan bahwa cinta sejati kepada الله melibatkan pengorbanan dan kerinduan yang dalam. Sedangkan Rabi’ah al-Adawiyah, sufi perempuan ternama, menunjukkan bahwa seluruh hidupnya hanya untuk الله. Kerinduan semacam inilah yang harus dimiliki oleh para murid sejati.
Maka, bukti cinta kepada guru adalah rindu. Rindu kepada ajaran-ajarannya, dzikir-dzikirnya, akhlaknya, dan amaliahnya. Jika seseorang mengaku murid tetapi tidak merasa rindu untuk mengikuti manaqib, dzikir, atau khataman, maka ia perlu bercermin dan mengevaluasi hatinya. Rasulullah SAW bersabda:
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seseorang akan bersama dengan yang ia cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita benar mencintai guru kita, maka kita akan senantiasa mencari cara untuk mendekat, termasuk menghadiri majelisnya dan mengamalkan tuntunannya. Bahkan yang lebih dalam, kita menjadikan ajaran guru sebagai penghalang dari perbuatan buruk. Saat ada ajakan nongkrong yang tidak bermanfaat, kita bisa menolak dengan berkata, “Maaf, saya ada manaqib.” Ini adalah bentuk penjagaan diri dengan ajaran.
Seseorang yang rindu kepada guru, sejatinya ia sedang rindu kepada thariqah, kepada tasawuf, kepada dzikir, dan akhirnya kepada الله SWT. Sebab guru syaikh mursyid adalah waratsatul anbiya (pewaris para nabi) yang menyampaikan akhlak Rasulullah SAW kepada murid-muridnya. الله SWT berfirman:
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15)
Jalan itu adalah jalan para syaikh mursyid, para guru yang menunjukkan akhlak Nabi, karena akhlak Nabi adalah manifestasi dari akhlak الله. Karenanya, kita meneladani cara berbicara, cara duduk, cara berpikir, cara memutuskan sesuatu, dan seluruh adab yang dicontohkan oleh guru kita. Semua itu bagian dari amaliah syaikh mursyid, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Amaliah yang tertulis dapat kita temukan dalam catatan-catatan beliau, sementara yang tidak tertulis hanya dapat kita tangkap melalui suhbah (kebersamaan), duduk bersama beliau, memperhatikan gerak-geriknya, dan menyerap kehalusan ruhaniyah dari kebersamaan itu. Inilah pendidikan ruhani yang tidak bisa didapat hanya dengan membaca, tapi harus dengan menyertai.
Ditranskrip dari ceramah: “Cara Mendidik Nafsu”
Link video: https://youtu.be/ys4mP_apSlk?si=uQRrQl3KJprPsEwz