Kesediaan jiwa seorang murid untuk ikut Amaliyah [ فناء فى الافعال الشيخ] dan bershohbah bersama Mursyidnya maka keadaan demikian akan menariknya ke atas, naik ke jenjang fana dalam sifat-sifat Syeikhnya [ فناء فى الصفات او فى الاحوال الشيخ]. Yaitu, ketika amaliyah yang diamalkannya secara istiqomah berbuah muamalah yang berkualitas.
Amaliyah adalah ikhtiar ruhani membangun relasi vertikal dengan Khooliq [حبل من الله]. Sementara muamalah adalah ikhtiar membangun relasi horizontal dengan sesama makhluq-nya [حبل من الناس]. Rumus ilahiyah-nya ialah siapa yang relasi vertikalnya baik maka akan baik dan memperbaiki relasi horizontalnya.
Dengan ungkapan lain, barangsiapa berkualitas dalam amal ritual kesufiannya maka akan berkualitas amal aktual kehidupan sosialnya. Berkualitas amaliyahnya maka berkualitas akhlaq kesehariannya. Bahkan puncak yang dituju dari amal kesufian itu adalah akhlaqul karimah [اخلاق الكريمة]. Dalam bahasa TANBIH Syeikh Abdulloh Muabarok bin Nur Muhammad, tujuan tertinggi ajaran yang jadi amalan kesucian jiwa ialah BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA (Cageur Bageur) –dalam bahasa Jawa: waras-bergas.
Akhlaqul karimah pada saat yang sama menjadi prasyarat sekaligus penanda seseorang telah sampai dan bersama ALLOH [الواصل الى الله]. Hadrotus Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs menyampaikan,
لا يصل المخلوق الى الخالق الا بالاخلاق
Tidak akan sampai makhluq kepada khooliq kecuali dengan akhlaqnya. Dalam kalamnya yang lain, Pangersa Abah Aos menegaskan, sosok الواصل الى الله itu tandanya ialah ia yang akhlaq ucap dan perbuatannya telah, sedang dan slalu mencerminkan akhlak TANBIH sebagai 9 Pilar Peradaban Dunia.
Ini bersambung dengan perintah dari Nabi Muhammad ص م kepada umatnya agar berakhlak dengan akhlak dan sifat-sifat ALLOH.
اتّصفوا بصفاة الله…
تخلّقوا باخلاق الله…
Dan untuk mengetahui perwujudan akhlak paling sempurna ALLOH (tajalli) pada diri manusia ialah akhlaknya Nabi Muhammad ص م sendiri, seperti dilukiskan isteri tercinta Sayyidah Aisyah Ra, وكان خلقه القرئن. Dan keadaan akhlaq Nabi adalah semuanya segalanya selamanya Al Qur’an.
Statemen ini bukan hanya berlaku kepada Nabi Agung akhir zaman Ahli Silsilah ke-3 tapi juga berlaku pada para Aulia ALLOH yang ditunjuknya sebagai penerus sekaligus pewaris ajaran di setiap masa, termasuk masa sekarang ini.
MEREKA adalah sekaligus penjelmaan insan kamil yang hadir dan “diutus” di setiap masa. Merujuk kepada tafsir Syeikh Abdul Karim al Jilli dalam karyanya الانسان الكامل bahwa sosok insan kamil ini adalah the living Qur’an atau الكتاب. Kitab al Qur’an hidup, berjalan, sosok yang harus diikuti. Sosok bacaan dan tulisan –yang tiada keraguan di dalamnya [ذالك الكتاب لا ريب فيه]– untuk memandu perjalanan kehidupan manusia.
Ikutilah sang Insan Kamil, karena ikut adalah bukti nyata nan sempurna dari cinta. Cinta kepada-NYA, cinta pada Nabi-NYA, dan cinta pada seluruh kekasih-NYA dalam rantai spiritual خلفاء الراشدين. Berdasarkan,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 3:31)
Sekian. HABIS.
Salam cinta,
KH Budi Rahman Hakim, MSW., PhD.
[Ketua Penasehat Roudhoh TQN Suryalaya Sirnarasa Pusat]