Mencari Cahaya di Jalan Dzikir dan Bimbingan Guru Mursyid

admin111
admin111
5 Min Read

Oleh: K.H. Luqman Kamil Ashiddiq
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul dari Cimahi)

Majelis dzikir seperti manaqib bukanlah sekadar pertemuan ritual, melainkan unit service rohani—tempat ruh disucikan dari kotoran-kotoran batin. Dalam sebuah ayat, الله berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)

Ayat ini menjadi landasan penting bahwa kebersihan jiwa adalah kunci keberuntungan sejati. Ruh manusia, kecuali para nabi, tidaklah suci secara otomatis. Maka perlu perjuangan untuk membersihkannya. Itulah yang disebut mujahadah, perjuangan spiritual yang membutuhkan bimbingan seorang guru mursyid.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

- Advertisement -

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ

“Sesungguhnya ilmu itu didapat dengan belajar, dan kelembutan didapat dengan melatih diri.”
(HR. Thabrani)

Begitu pula dengan kesucian jiwa, ia tidak datang secara tiba-tiba. Kesucian para mursyid bukan pemberian gratis dari langit, tetapi buah dari dzikir yang konsisten, riyadhah yang istiqamah, serta pengabdian puluhan tahun. Sebagaimana guru kita yang dibimbing langsung oleh Abah Anom selama 44 tahun, hingga akhirnya diberi amanah untuk menjadi pembimbing ruhani para murid.

Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, penyakit batin jauh lebih berbahaya dari penyakit lahir. Di antara penyakit lisan yang disebutkan beliau adalah:

الْغِيبَةُ، وَالنَّمِيمَةُ، وَالْكَذِبُ، وَالْمِرَاءُ، وَالْجَدَلُ، وَالْمُجَادَلَةُ، وَالسُّخْرِيَّةُ، وَالاسْتِهْزَاءُ، وَالْفُحْشُ، وَالْبَذَاءَةُ

“Ghibah, namimah, dusta, debat kusir, perdebatan tanpa faedah, mengejek, mengolok-olok, berkata keji, dan ucapan kasar.” (Ihya’ Ulumuddin, Jilid III)

Penyakit-penyakit ini tidak terlihat secara lahir, tetapi dapat dideteksi oleh mata batin (bashirah). Maka perlu dzikir untuk menyalakan cahaya dalam hati, karena tanpa dzikir, hati akan redup dan kering. الله berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat الله. Ingatlah, hanya dengan mengingat الله hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Analoginya seperti tubuh yang butuh makanan agar kuat, maka ruh pun butuh dzikir agar sehat. Ketika seseorang mulai malas salat, enggan mengaji, atau merasa berat berdzikir, itu pertanda bahwa jiwanya sedang sakit. Maka seperti tubuh yang butuh dokter, jiwa pun butuh mursyid yang dapat membimbing proses penyucian.

Banyak orang mengalami perubahan batin yang signifikan setelah rutin menghadiri majelis dzikir dan membiasakan diri melafalkan La ilaha illallah dalam jumlah tertentu setiap malam. Salah satu bentuk amalan yang sering diamalkan adalah dzikir sebanyak 825 kali, yang dikenal luas dalam kalangan pengamal thariqah sebagai bagian dari wirid untuk memperkuat tauhid. Mereka yang menjalaninya dengan istiqamah sering kali merasakan hatinya menjadi lebih ringan, pikirannya lebih jernih, dan semangat ibadahnya meningkat.

Sebelum mengenal dzikir secara teratur, tidak sedikit yang merasa lalai dalam ibadah dan hidupnya seperti tanpa arah. Namun setelah dibimbing oleh syaikh mursyid, mereka merasa hati yang dulu kosong kini seperti dipenuhi oleh cahaya yang tak pernah padam. Perubahan ini bukan karena dzikir semata sebagai aktivitas lisan, tetapi karena dzikir yang dilakukan dengan kesadaran, adab, dan bimbingan ruhani yang benar-benar menyentuh kedalaman jiwa.

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah:

“الذِّكْرُ لِلْقَلْبِ كَالْمَاءِ لِلسَّمَكِ، فَكَيْفَ يَكُونُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ؟”

“Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan, maka bagaimana keadaan ikan jika terpisah dari air?” (Al-Wabil ash-Shayyib)

Dengan dzikir, hati yang semula gelap mulai diterangi. Pikiran yang kalut mulai tertata. Perilaku yang malas dalam ibadah berubah menjadi semangat yang menyala. Hal ini menjadi bukti bahwa dzikir yang dilakukan dengan kesungguhan hati bisa menjadi sarana penyucian jiwa dan pengobatan batin, terlebih ketika dibimbing oleh seorang mursyid yang telah menempuh jalan spiritual secara konsisten.

Dalam dunia thoriqoh, seorang murid tidak boleh sembarangan mengamalkan dzikir di luar bimbingan mursyid. Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani:

لَا تَسِيرُ إِلَى اللهِ إِلَّا بِقَلْبٍ صَافٍ وَمُرَافَقَةِ الشَّيْخِ

“Tidak akan sampai seseorang kepada الله  kecuali dengan hati yang bersih dan menemani (dibimbing) oleh seorang syekh.” (Futuhul Ghaib)

Maka ketika seorang murid diberi amalan dzikir oleh mursyidnya, hendaknya ia mencukupkan diri dan istiqamah dalam mengamalkannya.

Semoga kita semua termasuk golongan yang istiqamah berdzikir, membersihkan hati, dan berpegang pada bimbingan Syaikh Mursyid. Karena sesungguhnya, jalan ke hadirat الله itu panjang, terjal, dan penuh ujian. Tapi bersama Syaikh Mursyid, kita punya pelita dalam kegelapan, kompas dalam kebingungan, dan jaminan agar tidak tersesat di tengah perjalanan.

KET: tulisan ini ditranskrip dari ceramah beliau di Channel YouTube UNU 88(https://youtu.be/-P6qn8gpmAs?si=-mRbk2EJ0lDqFDHA)

Share This Article
Leave a comment