Menggapai Husnul Khotimah

Panji Makalalag
Panji Makalalag
9 Min Read

Oleh: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs
(Wali Mursyid TQN Suryalaya Sirnarasa PPKN Silsilah ke 38)

Setiap mukmin, pasti mendambakan memperoleh Husnul Khotimah (baik di penghujung kehidupan) karena ini merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang kekal abadi lagi selamat.

Untuk meraih hal tersebut, tentu saja harus ada upaya maksimal yang akan mewujudkan kenyataan indah yang sangat didambakan oleh setiap mukmin. Dalam al Qur’an surat Al ‘Ashr ayat 1-3, الله SWT berfirman:

“Demi masa, Sungguh, manusia berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”

- Advertisement -

Kalau saja kita perhatikan ayat tersebut di atas, jelaslah sudah bahwa tipe manusia yang akan selamat itu adalah yang pandai serta hati-hati dalam memanfaatkan setiap putaran waktu untuk senantiasa dipakai beribadah kepada الله. Dia akan benar-benar mengoptimalkan waktunya agar tidak terbuang sia-sia. Dirinya menyadari benar bahwa hitungan jatah usia yang diberikan الله adalah setiap hari. Ia menyadari betul yang disebut hari akhir itu sebenarnya waktu yang dilaluinya setiap hari. Dengan kata lain, umur itu dihitung setiap hari karena tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui apakah hari esoknya masih bisa menghirup udara dunia ataukah tidak.

Sunggguh teramat rugi manusia yang menyia-nyiakan waktu yang dilaluinya dengan pekerjaan- pekerjaan yang sia-sia. Karena umur yang telah dijatahkan oleh الله akan dimintai pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun dalam pengadilan akhirat kelak.

Dalam kitab Aiqodul Himam, halaman 210, Rosululloh Saw bersabda:

من استوى يوماه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من امسه فهو محروم ومن لم يكن في الزيادة فهو في النقصان ومن كان في النقصان فالموت خير له

Artinya: “Siapa yang dua harinya sama (tidak ada peningkatan ibadah) maka ia orang tertipu dan siapa yang hari ini jelek dari sebelumnya maka ia orang yang terhalang (rugi), siapa yang tidak bertambah pasti berkurang, kalau berkurang lebih baik mati.”

Oleh karena itu wajib bagi kita untuk melalui putaran waktu dengan banyak beribadah kepada-Nya, caranya dengan memberikan makanan bagi hati berupa dzikrulloh agar hati sehat. Jangan hanya memikirkan kesehatan jasmani saja dengan memberikan berbagai makanan bergizi.

Kesehatan badan hanya bisa dinikmati dalam kehidupan dunia sedangkan kesehatan hati menenteramkan kehidupan dunia sekaligus membawa kebahagiaan tak terkira di akhirat. Kematian jasad hanya salam perpisahan dengan dunia namun kematian hati rasa sakitnya berlarut-larut sampai akhirat.

Bahkan seorang sholih berkata, “Sungguh heran orang yang menangisi kematian tubuh seseorang namun tak pernah sekali pun mereka menangisi kematian hati seseorang, padahal itu lebih tragis”.

Sudah saatnya, kita banyak melakukan muhasabah. Meneliti apa yang pernah kita kerjakan, mengoreksi yang salah dan melanjutkan yang benar kemudian teliti dan hati-hati mengerjakan perbuatan hari ini dengan mengambil pelajaran dari masa lalu untuk bisa berbuat demi masa depan sampai ke akhirat. Firman الله SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada الله dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada الله, sesungguhnya الله Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs.Al Hasyr: 18)

Dalam ayat lain الله SWT berfirman:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَٰكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Qs. Al Mu’minun: 115)

Salah satu fase perjalanan manusia yang bisa dijadikan penentu mengenai selamat atau tidaknya di kehidupan akhirat adalah pada saat kematian. Selamat pada waktu kematian, akan selamat pula di kehidupan akhir. Seorang mukmin yang cerdik akan berupaya maksimal untuk membekali dirinya menghadapi kematian yang bisa kapan saja datangnya.

Beberapa bekal pokok yang perlu dipersiapkan antara lain:

Belajar dzikir dari sekarang
Hati yang senantiasa diisi dengan dzikrulloh akan membawa akhir kehidupan yang baik (Husnul Khotimah). Untuk meraihnya, kita harus belajar dari sekarang. Caranya dengan mencari ruh suci penerus risalah Rosululloh Saw yang akan mengajarkan cara berdzikir serta menamkannya secara kokoh dalam hati sanubari. Inilah yang disebut mentalqinkan kalimah thoyibah itu, bukan pada saat ruh sudah berada di tenggorokan. Saat kata- kata sudah tidak dapat dikeluarkan lagi. Ini pula yang disebut kalimat bai’at. Perjanjian antara kita dengan الله melalui seorang mursyid. Sabda Rosululloh Saw:

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة منجاهلية : (رواه مسلم )

Artinya: “Barangsiapa mati sedang di pundaknya tidak ada ikatan bai’at maka matilah ia sebagaimana sifat kematian orang jahiliyah.” (HR. Muslim)

Bai’at yang dimaksud adalah talqin dzikir kalimah Laa Ilaaha lalloh. Inilah cara yang akan membuat manusia beriman untuk mengingat nama الله Yang Mahasuci setiap saat.

Mengamalkannya
Seseorang yang menerima kalimah thoyyibah berarti juga menerima Islam secara totalitas. Firman الله SWT dalam Qur’an surat Ibrahim ayat 24-25:

اَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصۡلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرۡعُهَا فِى السَّمَآءِۙ‏ ٢٤

تُؤۡتِىۡۤ اُكُلَهَا كُلَّ حِيۡنٍۢ بِاِذۡنِ رَبِّهَا​ؕ وَيَضۡرِبُ اللّٰهُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُوۡنَ‏ ٢٥

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana الله telah membuat perumpamaan kalimat yang baik1 seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan الله membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”

Orang yang telah ditalqin dzikir dengan kalimah ini harus menjadi figur yang bermanfa’at untuk manusia dalam naungan ridho الله. Kalimah ini merupakan esensi kehidupan setiap muslim dalam dimensi taqwa, bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga, masyarakat, lingkungan dan Robbnya.

Esensi kalimah thoyyibah sudah semestinya menjadi jiwa serta amal secara konsekuen dan konsisten. Apa yang telah diikrarkan diikuti dalam perbuatan sehingga indah dalam kata dan indah pula dalam perbuatan. Seseorang yang menyatakan di bibirnya kalimah thoyyibah tapi segenap sikap dan tingkah lakunya bertolak belakang maka pernyataannya adalah palsu. Sikap seperti ini salah satu sifat-sifat nifaq. Yaitu sifat yang layak dimiliki oleh orang-orang munafiq. Firman الله SWT dalam al Qur’an surat An Nisa ayat 145:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًاۙ ۝١

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkat paling bawah dari neraka. Kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.”

Orang munafiq itu biasanya banyak melakukan tipu daya kepada الله, sholatnya bermalas- malasan, menunjuk-nunjuk amal kebaikannya, tidak punya pendirian tetap dan jarang mengingat الله.

Ikhlas
Perbuatan yang hanya mengharapkan ridho الله SWT. Seperti yang difirmankannya dalam al Qur’an surat al Bayinah ayat 5:


وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ 

“Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah الله dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).”

Itulah sebabnya, setiap akan berdzikir membaca Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi ‘atini mahabataka wa ma’rifataka yang berarti seluruh yang kita lakukan totalitas hanya untuk الله semata, di luar itu tidak ada yang kita simpan dalam hati.

Itulah di antara perbekalan terbaik yang mesti digenggam oleh seorang muslim yang ingin selamat dari kematian yang mengerikan.

Sumber: Majalah Nuqthoh, No. 2 Tahun II – 13 April 2003 (11 Shofar 1424 H)

Share This Article
Leave a comment