Oleh: Dr. K.H. Ahmad Rusydi Al Wahab, MA.
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul dari Jakarta)
Para jemaah yang dirahmati oleh الله , kita melanjutkan membaca Ihya Ulumuddin karya Al-Imam Al-Ghazali. Masih berkaitan tentang ridhā, yakni menggapai rida الله dan sikap rida atas segala ketetapan-Nya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada sekelompok sahabat:
مَا أَنْتُمْ؟
“Siapa kalian?”
Para sahabat menjawab:
نَحْنُ الْمُؤْمِنُونَ
“Kami adalah orang-orang yang beriman.”
Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya lagi:
مَا عَلَامَةُ إِيمَانِكُمْ؟
“Apa tanda-tanda keimanan kalian?”
Para sahabat menjawab:
نَصْبِرُ عَلَى الْبَلَاءِ، وَنَشْكُرُ عَلى الرَّخَاءِ، وَنَرْضَى بِالْقَضَاءِ
“Kami bersabar atas bala musibah, bersyukur atas kenikmatan, dan rida atas segala ketetapan Allah.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
مُؤْمِنُونَ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ
“Kalian benar-benar orang-orang yang beriman, demi Rabb Ka’bah!”
Jadi, jika kita ingin diakui keimanannya oleh الله, maka kita harus sabar dalam menghadapi ujian, bersyukur atas nikmat, dan rida terhadap ketetapan الله. Rida adalah menerima apa pun yang terjadi setelah ikhtiar dan doa. Apakah kita menerima atau justru marah dan menolak?
Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحُكَمَاءُ أُوَرَثُ الْأَنْبِيَاءِ
“Orang-orang yang berhikmah adalah pewaris para nabi.”
Dan dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Barang siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Hikmah adalah kemampuan untuk memahami sesuatu yang batin di balik yang lahiriah, membaca makna dari kejadian yang tampak. Orang yang memiliki hikmah ini dinamakan ḥakīm. Contohnya Luqman, disebut Luqman al-Ḥakīm, karena kemampuannya memahami makna-makna terdalam kehidupan.
Para ulama ḥakīm—berkat pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan ajaran Islam—nyaris mencapai derajat kenabian. Seperti sabda Rasulullah ﷺ:
عُلَمَاءُ أُمَّتِي كَأَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Ulama dari umatku seperti para nabi dari Bani Israil.”
Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Al-Ghazali—mereka semua adalah pewaris ilmu kenabian.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ
“Berbahagialah orang yang mendapatkan hidayah kepada Islam.”
Ini termasuk kita. Bersyukurlah kepada الله yang telah memberi kita petunjuk:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا
“Segala puji bagi الله yang telah memberi kami petunjuk kepada (agama) ini.” (QS. Al-A’raf: 43)
Betapa banyak orang yang mengaku Muslim, namun tidak taat kepada Islam. Kita patut bersyukur jika mampu menjalankan perintah-perintah الله, termasuk berpuasa di bulan Ramadan, karena tidak semua Muslim melakukannya.
Islam adalah solusi atas berbagai persoalan hidup. Dan الله memberikan jalan keluar dari setiap kesempitan tanpa biaya. Salah satu kunci pertolongan itu adalah mengakui kesalahan diri. Dalam tradisi Nusantara, kita mengenal filosofi ketupat: ngaku lepat—mengakui kesalahan. Hal ini membuka pintu ampunan dan pertolongan الله.
Jika seseorang menghadapi kesulitan, maka jangan menyalahkan orang lain. Akui kesalahan diri dan beristigfar. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa yang melazimkan istigfar, maka الله akan menjadikan baginya jalan keluar dari setiap kesedihan, solusi dari setiap kesempitan, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
Maka beruntunglah orang yang mendapatkan hidayah Islam dan mampu menjalankan ibadah. Bahkan jika rezekinya sekadar cukup, asal dia rida, maka nilainya di sisi Allah ﷻ bisa lebih besar daripada orang kaya yang tidak bersyukur.
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِالْقَلِيلِ مِنَ الْعَمَلِ
“الله rida kepadanya dengan sedikit amal.”
Dikisahkan seorang ahli ibadah bermimpi bahwa ia ditemani di surga oleh seorang perempuan penggembala kambing. Setelah diselidiki, perempuan itu bukan ahli ibadah luar biasa. Ia berkata:
كُنْتُ فِي سِدَّةٍ فَلَمْ أَتَمَنَّ الرَّخَاءَ
“Ketika aku diuji, aku tidak berharap kemudahan.”
وَإِذَا مَرِضْتُ فَلَمْ أَتَمَنَّ الشِّفَاءَ
“Ketika aku sakit, aku tidak berharap kesembuhan.”
Ia menjalani ujian itu dengan penuh rida, bukan hanya sabar. Inilah yang menjadikan amalnya sedikit, namun besar di sisi الله.
Nabi Musa عليه السلام pernah berdoa:
يَا رَبِّ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ رَضِيتَ عَنِّي
“Ya Rabb, tunjukkan kepadaku satu amalan yang jika aku melakukannya, Engkau akan rida kepadaku.”
Lalu Allah menjawab:
إِنَّ رِضَايَ فِي رِضَاكَ بِقَضَائِي
“Sesungguhnya keridaan-Ku ada dalam kerelaanmu atas ketetapan-Ku.”
Imam Al-Ghazali menegaskan, sabar berbeda dengan rida. Sabar adalah menahan diri dari protes dan tidak melampiaskan keluh kesah, meski hati belum sepenuhnya menerima. Sedangkan rida adalah lapangnya hati, senang menerima apa pun yang ditetapkan الله.
Bahkan terkadang musibah bisa dijalani dengan bahagia, seperti orang yang sedang bertempur dalam perang dan tidak merasakan luka-luka karena terlalu fokus menghadapi musuh. Begitu pula, seorang anak kecil yang sedang bermain bisa jatuh dan terluka, namun tidak merasakan sakit karena terlalu senang bermain.
Imam Al-Ghazali menyarankan agar kita memfokuskan diri pada tafakur tentang cinta الله. Seperti yang disebutkan oleh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam Risalah al-Mu‘awanah, jadikan tafakur sebagai wirid. Bukan hanya shalawat, dzikir, atau ratib saja, tapi juga tafakur, yaitu memikirkan dan merenungi cinta dan rahmat الله yang luar biasa.
Ditranskrip dari: “Amalan untuk menggapai ridha الله”
Link: https://www.youtube.com/live/YHU381dq6YI?si=2oyeEwzR4y7exvrD