Oleh: K.H. Budi Rahman Hakim Al Amiin, MSW., Ph.D. (Abah Jagat Al Khoolish)
(Pimpinan Pesantren Peradaban Dunia JAGAT ‘ARSY)
Dalam suatu kajian penuh makna, seorang guru mursyid dan pecinta ilmu menyampaikan pesan yang menyegarkan dan mencerahkan tentang bagaimana manusia bisa kembali kepada kesucian dirinya, seperti seorang bayi yang baru lahir. Pesan ini bukan sekadar nasihat, tetapi juga sebuah ajakan untuk merenungi kembali tujuan kita mengamalkan ilmu dan menjalani ibadah, agar semakin dekat dengan الله Ta’ala.
Bayi adalah makhluk suci tanpa noda dosa. Mereka lahir dalam keadaan fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658)
Tujuan utama dari zikir dan amalan-amalan spiritual bukan sekadar rutinitas, tetapi pembersih jiwa. Zikir yang tulus mampu membersihkan dosa-dosa besar dan menyucikan hati. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’ dengan ikhlas, maka ia akan masuk surga.”
(HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Zikir adalah alat pembersih. Ia seperti air yang membersihkan kotoran dari tubuh, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
“Sesungguhnya zikir kepada الله adalah lebih besar (keutamaannya).”
(QS. Al-‘Ankabūt: 45)
Seorang bayi menyenangkan saat dipandang. Ia membawa ketenangan, cinta, dan senyum bagi siapa pun yang melihatnya. Seorang salik yang istiqamah dalam zikir juga akan memancarkan cahaya dan ketenangan yang membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Tirmidzi no. 2018)
Jika kehadiran kita membuat orang tenang, itu tanda zikir telah meresap ke dalam hati dan memancar keluar dalam bentuk akhlak.
Bayi juga tidak memiliki prasangka. Ia tidak mengenal dendam atau kebencian. Inilah teladan bagi kita: hidup tanpa prasangka, tanpa buruk sangka kepada sesama, dan bahkan kepada takdir. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya ucapan.”
(HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)
Bayi tidak punya beban, tidak mengeluh, dan selalu percaya penuh kepada orang tuanya. Begitu pula seorang murid kepada mursyid, dan hamba kepada Rabb-nya. Inilah tafwīdh, yaitu menyerahkan segala urusan kepada الله. Imam Ibn ‘Athaillah as-Sakandari berkata:
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيرِ، فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ أَنْتَ لِنَفْسِكَ بِهِ
“Rehatkan dirimu dari mengatur, karena apa yang telah dilakukan untukmu oleh selainmu, tidak akan kamu lakukan untuk dirimu sendiri.”
(al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah)
Bayi pasrah kepada orang tuanya. Maka seorang salik, seharusnya pasrah kepada Allah melalui perantara mursyid yang membimbingnya menuju cahaya Ilahi. Apa yang diperintahkan oleh guru rohani adalah bentuk kasih sayang dan jalan terbaik untuk meniti tangga spiritual menuju الله.
Bayi juga tidak pusing dengan urusan dunia. Mereka hidup tanpa kecemasan tentang harta atau masa depan. Maka, seorang hamba pun seharusnya tidak meletakkan harapan kepada makhluk, agar tidak mudah kecewa. Al-Qur’an menegaskan:
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
(QS. Al-Insyirah: 8)
Jika kita sudah tidak berharap kepada makhluk, maka hidup ini akan lebih ringan dan tenteram. Karena berharap kepada manusia sering kali berujung kekecewaan, namun berharap kepada الله adalah pintu segala ketenangan.
Dalam perjalanan spiritual, kita juga diajarkan untuk memperbanyak zikir, bukan sekadar memperbanyak doa. Doa adalah meminta yang belum ada, sementara zikir adalah bentuk syukur atas apa yang sudah diberikan. Dengan zikir, yang belum ada akan hadir, dan yang sedikit akan dilipatgandakan. Allah berfirman:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.”
(QS. Ibrahim: 7)
Zikir adalah bentuk syukur tertinggi. Ketika kita mengucap Alhamdulillah, bukan hanya karena nikmat telah datang, tapi karena kita yakin semua yang datang dari الله adalah baik. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ…
“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin, karena semua urusannya adalah baik…”
(HR. Muslim no. 2999)
Terakhir, makna dari “Jambi Bersinar” bukan hanya tentang lampu atau infrastruktur. Tapi bagaimana cahaya ruhani memancar dari jiwa-jiwa penduduknya yang senantiasa berdzikir, mencintai Allah, dan menjadikan akhlak sebagai cermin diri. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Ketika penduduk suatu kota berdzikir, berakhlak mulia, dan hidup dengan jiwa yang bersih, maka kota itu benar-benar bersinar. Bukan hanya oleh cahaya matahari, tapi oleh cahaya dari hati para kekasih الله.
Semoga kita semua dapat terus istiqamah, mengamalkan ajaran para salihin, dan menjadi insan yang bersinar—karena hati yang terhubung dengan cahaya Ilahi.