Oleh: K.H. Mahmud Jonsen Al Maghribi, M.Si.
(Wakil Talqin Pangersa ABAH AOS dari Tanggerang)
Dikisahkan dalam sebuah riwayat, “Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di tengah-tengah Bani Israil, lalu ia ditanya, “Siapakah manusia yang paling dalam ilmunya?” Ia menjawab, “Sayalah orang yang paling dalam ilmunya.” Maka الله Swt. menyalahkannya karena tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. الله Swt. kemudian mewahyukan kepadanya yang isinya, “Bahwa salah seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan lebih dalam ilmunya daripada kamu.” Musa berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara menemuinya?” Maka dikatakan kepadanya, “Bawalah ikan (yang sudah mati) dalam sebuah keranjang. Apabila engkau kehilangan ikan itu, maka orang itu berada di sana.”
Menurut shahih Bukhori, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa beliau mendengar nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku”. Mengenai hal ini Imam Ja’far ash-Shadiq menuturkan bahwa setelah الله berbicara langsung kepada Nabi Musa, menurunkan Taurat kepadanya, dan memberinya berbagai karunia dan mukjizat, sifat kesombongannya yang manusiawi timbul hingga bertuturlah ia, “Aku tidak melihat ciptaan yang lebih berilmu dari padaku”. Lalu الله Swt. menegur Nabi Musa A.s dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada dipertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.
Mendengar teguran الله Swt. itu Nabi Musa A.s sadar akan kesalahannya, dan Nabi Musa A,s memohon kepada الله, “Ya الله, di mana orang ini bisa saya temui? Saya ingin bertemu dengannya dan belajar darinya,” tanya Nabi Musa A.s antusias. Lalu kemudian الله Swt. menunjukkan sebuah tempat di mana Nabi Musa A.s dapat menemui orang berilmu tersebut, yaitu di pertemuan antara dua lautan, di balik sebuah batu. Agar lebih yakin dan tak salah mengenali orang, Nabi Musa A.s pun meminta tanda identitas orang tersebut. Kemudian الله Swt. memerintahkan Nabi Musa A.s membawa seekor ikan dalam wadah berisi air. Ikan tersebut akan menunjukkan arah di mana keberadaan sang ahli ilmu Khidir. Sebagaimana dikisahkan Alloh Swt. dalam Al-Qur’an, surat Kahfi, ayat (60-65) :
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya. “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.
Artinya, “Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.”
Artinya, “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Artinya, “Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
Artinya, “Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
Artinya, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Ayat-ayat di atas mengisahkan perbedaan sudut pandang Nabi Khidir yang telah disingkapkan kepadanya alam gaib dan Nabi Musa yang hanya melihat secara indrawi. Kisah ini secara sederhana ingin mengemukakan sedikitnya tiga hal : pertama, alam eksistensi terdiri dari aspek yang tampak (syahadah) dan aspek tak tampak (ghaib); kedua, dua aspek ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi; dan ketiga, pengetahuan seseorang tentang aspek gaib pasti akan mempengaruhi perilakunya di alam nyata. Oleh karena itu, makin luas ilmu gaib yang diberikan الله pada seseorang, makin berbeda pula perilaku orang itu di alam indrawi. Begitulah pengandaian Nabi Muhammad Saw. yang terekam dalam surah al-A’raf, ayat (188) :
Artinya, “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.
Rahasia Diantara Dua Lautan Tanpa Tepi
Kisah di atas sudah lama terjadi (dulu), akan tetapi bukanlah berarti tidak relevan dengan keadaan sekarang, bukankah “Dulu” itu karena disebutnya sekarang? “Sekarang” pun kalau disebut dikemudian hari menjadi “Dulu”. Padahal ayat-ayat الله Swt. didalam Al-Qur’an tetap berlaku sejak dari DULU hingga AKHIR nanti.
Kisah tersebut diabadikan dalam Al Qur’an, bukanlah berarti merupakan kekurangan dari Nabi Musa A.s. Bukankah Nabi itu Ma’sum? Kisah tersebut dimaksudkan sebagai pelajaran bagi kita Umat Nabi Muhammad Saw. agar kita dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dikisahkan di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, kalau dikaitkan dengan sekarang, kisah tersebut dapatlah juga kita kaitkan dengan penomena Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesatren Suryalaya pasca wafatnya Guru Agung Syekh Ahmad Shohibulwafa’ Tajul ‘Arifin Q.s (Abah Anom).
Bagi Ikhwan TQN Suryalaya, kita semua meyakini bahwa beliau pengersa Abah Anom adalah Mursyid Kamil Mukammil, artinya beliau mursyid yang telah sempurna dan dapat menyempurnakan. Sebagai seorang mursyid yang telah sempurna, tentu tingkat keikhlasan beliau dalam beribadah kepada Alloh sangat luar biasa, dirinya telah melebur dalam kehendak-Nya. Demikian juga tingkat keyakinan beliau kepada Alloh pun sudah sedemikian tinggi, sehingga beliau sudah tidak memiliki kehendak lagi, segala sesuatu mengalir mengikuti kehendak Alloh Swt. Bukankah di dalam Khotaman kita senantiasa bermunajat, “Allohumma yaa qoodiyal hajat”, yang artinya “Wahai Dzat yang memenuhi segala kebutuhan”. Sebagai mursyid kamil mukammil, apakah masih pantas kalau beliau masih banyak meminta berdasarkan keinginannya?
Bahkan, termasuk masalah siapakah yang menjadi penerus beliau nantinya sebagai Mursyid TQN PPS ke 38? sampai ketika beliau wafat pun, beliau tidak menunjuk siapa yang menjadi penerusnya. Artinya, semua sudah dipasrahkan kepada الله Swt. Bukankah Thoriqoh itu kepunyaan Alloh Swt. Sebagaimana Firman Allah (Q.S. Al-Jin: 16) :
وَأَنْ لَوِاسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لأَسْقَنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا
Artinya: “Sekiranya mereka itu tetap berjalan (bertarekat) di atas jalan yang benar (Tarekat yang benar) niscaya Aku (الله) akan memberikan kepada mereka meniman yang menghilangkan haus (petunjuk/Tarekat yang menghilangkan kesesatan)”
Kemudian, sebagai mursyid yang dapat menyempurnakan, tentu saja berarti beliau mampu untuk menyempurnakan muridnya, sehingga pasti ada muridnya yang telah sempurna dan mampu untuk meneruskan silsilah kemursyidan setelah beliau. Selanjutnya, “Sang Murid yang Disempurnakan” tentu saja Beliau pun tahu kalau ia telah disempurnakan. Jadi hakekatnya yang tahu bahwa pengersa Abah Anom itu kamil mukammil, hanyalah seorang MURID yang telah DISEMPURNAKAN, sedangkan kita ini hanya sekedar ikut saja.
Sebagai Murid yang disempurnakan (kamil), sama halnya dengan Gurunya, tingkat keyakinan dan keikhlasannya dalam beribadah kepada الله Swt. juga sudah sangat tinggi sekali. Sebagaimana gurunya pengersa Abah Anom, beliau pun sudah pasrahkan segala urusannya kepada الله Swt., sebagaimana sabdanya, “TDAK PERLU perlu apa-apa, TIDAK TAHU apa-apa, TIDAK MAU apa-apa”.
Perlu diketahui bahwa apabila seorang mursyid meninggal dunia maka wajib bagi murid untuk mencari mursyid yang masih hidup sebagai penerus silsilah yang akan membi,bing si murid dalam melanjutkan perjalanan ruhaninya untuk sampai kepada Alloh Swt. melalui jalan thoriqoh, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abdul Wahab As-Sya’roni di dalam kitabnya Al Anwarul Qudsyiah, sbb :
وَ من الواجب عليه إذا مات شيخه أن يتخذ له شيخا يربيه
زيادة على ما رباه به الشيخ الأول (كتاب: الأنوار القدسية
“Dan wajiblah bagi murid, jika telah mati gurunya, mencari guru lain yang akan membimbingnya sebagai tambahan atas apa yang telah diajarkan oleh guru sebelumnya”.
Kriteria Mursyid Kamil Mukammil menurut Kitab Khozinatul Asror hal. 194, ialah :
- Seorang yang pintar (alim), karena yang bodoh tidak akan mampu memberi Irsyad (Petunjuk)
- Tidak mencintai dunia dan pangkat
- Baik dalam mendidik Nafsunya (Riyadlotun-Nafsi), seperti sedikit makan dan minum, serta berbicara dan banyak shalat, shadaqah serta berpuasa.
- Mempunyai sifat dan akhlaq terpuji, seperti : sabar, syukur, tawakkal, yakin, pemurah, qanaah, pengasih, rawadhu, shiddiq, haya, wafa, wiqor dan syukur (untuk lebih jelasnya lihat kitab tersebut).
Sedangkan menurut kitab Tanwirul Qulub karangan Syeikh Muhammad Amin Kurdi disebutkan bahwa syarat seorang Guru Mursyid Kamil itu ada 24 syarat, yang ringkasnya adalah Sirah Guru Mursyid tersebut seperti sirah (perilaku) Rasulullah SAW. Diantaranya yang 24 itu adalah :
- Harus seorang yang alim dalam segala keilmuan yang dibutuhkan oleh para murid.
- Harus seorang yang arif terhadap kesempurnaan kalbu dan adab-adabnya, serta mengetahui segala bencana dan penyakit nafsu serta cara menyembuhkannya.
- Seorang yang lemah lembut, pemurah kepada kaum muslimin, khususnya kepada para muridnya. Apabila melihat para muridnya belum mampu untuk melawan nafsunya dan kebiasaannya yang jelak misalnya, Beliau lapang dada terhadap mereka setelah menasehatinya dan bersikap lemah lembut kepadanya sampai mereka mendapat petunjuk.
- Selalu menutupi segala yang timbul dari aib yang menimpa para muridnya.
- Bersih dari harta para muridnya serta tidak tamak terhadap apa-apa yang ada ditangan para muridnya
- Selalu melaksanakan perintah dan menjauhi segala larangan Allah, sehingga segala perkataannya berbekas pada diri para muridnya.
- Tidak banyak bergaul dengan para muridnya kecuali sekedar perlu dan selalu mengingatkan hal-hal yang baru dalam hal tarekat dan syariah sebagai upaya membersihkan jiwa dan agar beribadah kepada Allah dengan ibadah yang benar.
- Perkataannya bersih dari berbagai kotoran hawa nafsu, senda gurau, dan dari segala yang tidak bermanfaat.
- Lemah lembut dan seimbang dalam hak dirinya, sehingga kebesaran dan kehebatannya tidak mempengaruhi dirinya.
- Selalu memberi petunjuk kepada para muridnya dalam hal-hal yang dapat memperbaiki keadaannya.
Dengan demikian selayaknyalah bagi Ikhwan Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah mengetahu siapa Guru ruhaninya yang Zhohir karena kita ini hanya sekedar ikut. Terlebih kita ini masih berada di alam tajrid (nyata), kita membutuhkan pembimbing yang masih dapat DILIHAT, DISENTUH, dan DIDENGAR secara zhohir. Janganlah kita merasa SOMBONG dengan mengatakan bahwa tidak perlu mursyid yang masih hidup, atau menganggap diri kita masih bisa robithoh dengan mursyid yang sudah kembali/pindah alam. Bukankah yang TAHU itu cuma SATU yaitu Mursid yang Kamil Mukammil? yang diberitahu oleh yang MAHA TAHU, yaitu Alloh Swt.
Sebagaimana layaknya di alam zhohir, maka untuk mengetahui siapa yang menjadi penerus (estafeta) Mursyid TQN PPS Suryalaya? disamping secara batin, kita juga perlu mencarinya secara zhohir, bisa melalui media-media atau dengan bertemu secara langsung dengan yang kita yakini atau yang diyakini sebagai MURID yang telah disempurnakan sebagai MURSYID dengan disertai keikhlasan membuka HATI kita selapang-lapangnya dan membiarkan kebenaran apa saja untuk memasukinya.
“BUKALAH DADA KITA UNTUK MENERIMA KEBENARAN”
Rahasia Diantara Dua Lautan : Syekh Ahmad Shohibul Wafa’Tajul Arifin, Qs. (Abah Anom) – Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul, Qs. (Abah Aos).
Tafakur Pecinta Kesucian Jiwa”
27 Rojab 1435 H