Saat Hidup Terasa Berat, Inilah Kuncinya…

admin111
admin111
9 Min Read

Oleh: K.H. Ahmad Rusydi Al Wahab, MA.
(Wakil Talqin Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul dar Jakarta)

Dalam tradisi Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah Suryalaya Sirnarasa Penghulu Pesantren Ketahanan Nasional, manaqiban bukan sekadar kegiatan rutin bulanan. Ia adalah ruang batin, taman ruhani, tempat di mana dzikir kembali dihidupkan, hati dibersihkan, dan jiwa diarahkan menuju الله. Di dalamnya dibacakan kisah para wali الله, terutama Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sebagai teladan hidup yang membimbing para salik agar teguh dalam menapaki jalan الله yang penuh rintangan.

Kata manaqib berasal dari akar kata naqaba yang berarti menelusuri atau menempuh jalan terjal. Ini menggambarkan bahwa jalan spiritual bukanlah jalan datar, melainkan penuh liku, perjuangan, dan kesabaran. Membaca manaqib bukanlah mengagungkan pribadi, tetapi meneladani akhlak dan perjuangan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an yang menampilkan kisah-kisah para nabi dan orang-orang shalih bukan untuk dikultuskan, melainkan untuk diambil hikmah dan ibrahnya.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِي ٱلْأَلْبَٰبِ

- Advertisement -

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Yusuf: 111)

Majelis manakiban menjadi taman dzikir, tempat para pencari الله berkumpul, menghidupkan dzikir Lā ilāha illallāh, membaca shalawat, tahlil, serta doa-doa. Inilah taman surga di bumi sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا

“Jika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah di dalamnya.” Para sahabat bertanya, “Apa taman-taman surga itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Halaqah-halaqah dzikir.” (HR. Tirmidzi)

Majelis ini bukan hanya tempat duduk bersama, tetapi ruang untuk menyegarkan iman. Sebagaimana iman akan menjadi usang di dada, maka dzikir adalah pembaharuannya.

إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ

“Sesungguhnya iman akan usang dalam hati kalian sebagaimana usangnya pakaian. Maka mintalah kepada Allah agar diperbarui iman dalam hati kalian.” (HR. Al-Hakim)

Melalui manaqiban, ruhani seorang salik diperkuat, karena dzikir yang dihidupkan bersama komunitas memiliki daya ruhani yang besar. Saat hati mulai kering, saat semangat ibadah mulai redup, maka duduk dalam komunitas dzikir adalah penawar dan penguat. Di tengah kelemahan manusiawi seperti kejenuhan, kebosanan, atau kelalaian, berkumpul dalam dzikir dapat menyegarkan semangat suluk yang sempat melemah. Bahkan, banyak perkara yang selama ini menjadi pertanyaan dalam hati, terjawab hanya dengan hadir dan mendengarkan.

Manaqiban juga menjadi sarana penguat ukhuwah, mempererat hati-hati dalam ikatan dzikir dan cinta kepada الله. Di dalamnya, tidak hanya ruh yang hadir, namun juga para malaikat yang turun membawa rahmat. Cahaya yang keluar dari dzikir para hamba di majelis ini mengundang kehadiran para malaikat yang mencari majelis ilmu dan dzikir.

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat الله hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Dalam pelaksanaan manaqiban, tidak ada yang bertentangan dengan Al-Qur’an maupun sunnah Nabi ﷺ. Justru, inilah bentuk aktualisasi spiritual Islam yang menyatu dengan budaya nusantara, menjadi sarana dakwah dan penguatan iman masyarakat. Sebagaimana kisah para nabi ditulis dan dibaca, maka kisah para wali pun menjadi bahan pelajaran agar kita menapaki jejak mereka dalam kesungguhan ibadah dan ketulusan amal.

Melalui manaqiban, dzikir menjadi terang, hati menjadi lapang, dan semangat beramal kembali tumbuh. Maka jangan sampai dzikir hanya menjadi hafalan lisan, namun jadikan sebagai napas hidup, arah langkah, dan kekuatan jiwa. Dzikir yang ikhlas akan membuka aura, menenangkan hati, dan menarik rezeki yang berkah. Bahkan dalam sabda الله:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 152)

Maka manaqiban bukan hanya pertemuan biasa. Ia adalah taman cahaya yang menghubungkan bumi dan langit. Tempat ruh-ruh salik disegarkan, iman diperbaharui, dan kehidupan diberi arah kembali. Di sanalah, dzikir menyala dan cahaya الله memancar. Dalam suasana itulah, dzikir menemukan makna terdalamnya—bukan hanya sebagai ritual lisan, tapi sebagai napas hidup yang memberi kekuatan di tengah gelombang ujian.

Ketika manusia berada dalam kondisi tertekan—masalah datang bertubi-tubi, urusan tak kunjung selesai, kesulitan hidup menyempit dari segala arah—di saat itulah dzikir menjadi cahaya yang memancar dari dalam hati, sebagai bentuk kepasrahan dan permohonan kepada الله Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa dalam kondisi senang, sedih, sehat, atau sakit, manusia tidak pernah dibiarkan sendiri. Ada jalan menuju pertolongan الله, dan itu adalah dzikir. Para malaikat yang diutus الله akan hadir di majelis dzikir, mengaminkan doa para hamba, membawa rahmat dan kemudahan dari langit.

Ketika seorang hamba berdzikir dan memohon, “Allahumma yassir wa la tu’assir” (Ya الله, mudahkanlah dan jangan Engkau persulit), para malaikat pun mengaminkan, hingga doa itu naik ke langit dan menjadi sebab datangnya jalan keluar dari الله. Inilah bentuk kasih sayang الله kepada hamba-hamba-Nya yang terus mengingat-Nya, meskipun dalam keadaan sangat sulit.

Sebagaimana firman-Nya:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا • وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa bertakwa kepada الله, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2–3)

Dalam berbagai pendapat ulama, termasuk Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Hanifah, meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam hal-hal fiqhiyah, semuanya sepakat bahwa dzikir adalah ibadah yang sangat agung dan menjadi sebab datangnya pertolongan الله. Bahkan para wali, para malaikat, dan arwah para shalihin, semuanya memuliakan dzikir dan menjadikannya jalan utama untuk mendekat kepada الله.

Guru-guru tarekat dan para mursyid kita juga menanamkan pentingnya istiqamah dalam dzikir. Dalam kondisi apa pun—sedang senang atau sedang susah—dzikir tetap menjadi pegangan utama. Ketika rezeki seret, ketika hati sempit, ketika hidup terasa berat, jangan lari ke manusia. Datanglah kepada الله. Tutuplah semua pintu selain pintu-Nya, dan ketuklah pintu itu dengan dzikir dan doa.

Diriwayatkan bahwa dalam suatu majelis dzikir, doa-doa yang dipanjatkan oleh para hamba akan diaminkan oleh para malaikat yang menghadirinya. Maka tidak ada doa yang sia-sia. Semua permohonan yang keluar dari hati yang ikhlas dan penuh pengharapan akan naik ke langit dan dicatat sebagai sebab datangnya rahmat.

Guru Agung kita pun mengajarkan agar umat ini jangan lelah berdzikir. Jangan berhenti meminta kepada Allah, karena yang diminta bukan dunia semata, tapi ridha-Nya. Melalui berbagai amalan seperti manakiban, pengajian, dan dzikir berjamaah, kita diajak untuk menumbuhkan cinta kepada الله, memperkuat iman, dan melatih hati agar senantiasa husnudzan pada-Nya.

Salah satu bentuk amalan yang diajarkan adalah mengadakan Majelis Manaqib selama 40 kali hari Jumat. Bukan karena keyakinan kepada ritual semata, tapi karena di sanalah dzikir dihidupkan, doa dipanjatkan, dan hati yang lemah diperkuat kembali. Dalam kondisi hati yang letih oleh dunia, majelis dzikir menjadi tempat istirahat ruhani yang tak ternilai.

Di tengah dunia yang bising, penuh godaan, dan melelahkan, dzikir menjadi tempat kembali. Maka berbahagialah orang-orang yang senantiasa berdzikir kepada الله, karena merekalah yang hatinya hidup. الله berfirman:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat الله hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Maka, ketika dunia menyesakkan, ketika hidup terasa gelap, dan harapan mulai pupus—kembalilah pada dzikir. Itulah jalan keluar yang diajarkan para nabi, para wali, dan para guru. Itulah jalan menuju ketenangan, keberkahan, dan ridha الله Subhanahu wa Ta’ala.

Ket: Tulisan ini ditranskrip dari https://youtu.be/N4dy6kPXsJY?si=Px5vTKPMLNTrnxom

Share This Article
Leave a comment