Oleh: Dr. K.H. Akbar Mardani
(Wakil Talqin Pangersa ABAH AOS dari Bogor)
Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada الله. Dalam kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada الله dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau lahiriah belaka?
Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir’ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu –Ihya’ ‘ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk الله adalah nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya
Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan.
• Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya.
• Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya.
• Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan Allah.
Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia harus selalu berusaha memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah –salat sunnah, puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari mereka.